Sabtu, 13 Mei 2017

PENELITIAN TENTANG MAKNA KONSEP AGAMA

PENELITIAN TENTANG MAKNA KONSEP AGAMA
REVISI MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah
“Metode dan Pendekatan Dalam Kajian Islam”

Dosen Pengampu:
1.      Dr. H. Teguh, M, M. Pd
2.      Dr. Ngainun Na’im, M. HI



Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: G:\iain\iaintul.jpg











Disusun Oleh:

Hasan Khariri
NIM 17501164008

   SEMESTER II.A
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
                                        MEI 2017

PRAKATA
Puji ayukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadiran Allah SWT yang telah memberi petunjuk kepada umat manusia, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah dengan berjudul “Penelitian Tentang Makna Konsep Agama”.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada bagonda Rosulullah SAW yang telah memberikan petunjuk kepada umat manusia, sehingga manusia dapat terbebas dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah.
Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1.      Bapak Dr. H. Maftukhin, M. Ag selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah memberikan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas tepat waktu.
2.      Bapak Prof. Dr. H. Achmad Patoni, M. Ag selaku direktur Pascasarjana IAIN Tulungagung yang selalu memberikan dorongan semangat dalam mengemban ilmu pengetahuan selama perkuliahan.
3.      Bapak Dr. Ngainun Na’im, M. HI dan Bapak Dr. H. Teguh, M, M. Pd
4.       selaku dosen pembimbing mata kuliah Manajemen Lembaga Pendidikan Islam.
5.      Seluruh civitas kampus Pascasarjana yang selalu memberikan dukungan selama perkuliahan.
6.      Ayah dan Ibunda tercinta, yang selalu memberikan support dan doanya kepada penulis.
7.      Teman-teman angkatan 2016 yang telah membantu terselesainya tugas ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangatlah sederhana dan masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan dengan senang hati terbuka menerima kritik demi kesempurnaan karya tulis ini.
Semoga apa yang telah penulis paparkan dalam karya tulis ini dapat memberikan banyak manfaat kepada semua pihak, utamanya demi meningkatkan mutu pengetahuan kita. Amin ya Rabal ‘Alamin.

Tulungagung, 10 Mei 2017

                                                                          Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul...............................................................................................      i
Kata pengantar
...............................................................................................     ii
Daftar isi
.........................................................................................................     iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................      1
            A. Latar Belakang...............................................................................    1
            B. Rumusan Masalah..........................................................................    2
            C. Tujuan Makalah.............................................................................     3
B
AB II PEMBAHASAN...............................................................................     4
            A. Pengertian Makna..........................................................................    4
            B. Konsep Agama...............................................................................    4
            C. Unsur-unsur Agama......................................................................    10   
            D. Pendekatan Studi Agama
            E. Metodologi Studi Agama Menurut Para Ahli................................   19
            D. Penelitian Agama...........................................................................   23
BAB III ANALISIS......................................................................................   26
BAB IV PENUTUP.......................................................................................   28
KESIMPULAN..............................................................................................   22
SARAN...........................................................................................................  28
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................  30





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Makna merupakan sebuah pengertian yang menjelaskan dalam konsep apapun, makna tergantung orang yang memberi penjelasan sesuai dengan pendekatan seseorang yang memberi makna. Biasanya makna itu sesuai pemahaman seseorang untuk memahaminaya dan dengan pengalaman-pengalaman yang aktual dijalani masyarakat. Minatnya terletak kepada apa yang diinterprestasikan masyarakat sebagai konsekuensi-konsekuensi bagi mereka.
Max Weber mendalilkan sebuah dorongan dasar menuju makna dan persolusian ketidak sesuaian di tingkat pemaknaan. Salah satu fungsi yang cukup relevan adalah seperti yang diemban pra agama, yang perlu diperhatikan adalah arah yang di dalamnya mendorong perkembangan budaya.[1]
Seiring berkembangnya zaman, banyak sekali kajian–kajian penelitian ilmiah mengenai berbagai permasalahan studi agama. Bahkan, menetapkan makna agama tidak kalah sulitnya dengan kajian ilmiah lainnya. Banyak sekali tulisan tentang bidang ini karena manusia sangat memperhatikan masalah ini, yang pada dasarnya bersifat kontroversial. Seringkali tulisan agama dipandang sebagai respon manusia terhadap kekuatan alam yang besar dan tidak dapat dikontrol, seperti penyakit bahasa, munculnya ketakutan dan dorongan terhadap keamanan.[2]
Ketika kegiatan penelitian terhadap agama mulai digalakkan sekitar tahun 1970-an, banyak yang mempertanyakan, ‘’agama kok diteliti?’’ Bagi mereka, agama sudah pasti benar karena ia kebenaran wahyu dari Allah, sedangkan penelitian dipahami sebagai ketidakpercayaan terhadap kebenaran itu. Pemahaman semacam ini dapat dimengerti karena pengertian tentang agama dan penelitian waktu itu memang masih demikian di masyarakat umum. Barangkali, pengertian semacam itu masih berlangsung hingga saat ini di sebagian masyarakat.[3]
Meskipun seseorang dapat memahami agama secara umum, namun masih ada pertanyaan tentang apa yang menjadi obyek penelitiannya dan metodologi pengkajiannya. Namun, kali ini kita akan mengkaji metodologi studi agama-agama, kususnya tiga agama samawi, yaitu Islam, Yahudi dan Nasrani. Banyak sekali cara-cara yang di tempuh untuk mengkaji agama-agama, yang mana akan dibahas secara mendalam dalam makalah ini.
Seperti kita melihat agama subjek atau objek, jika kita melihat agama secara objek maka kita sebagai subjek yang mengartikan dengan paradigama. Setiap agama di dunia juga harus menyesuaikan fakta sosial, sering kali konsep agama diperbincang di publik bahkan konsep agama seperti permasalahan di masyarakat. Meskipun seseorang dapat memahami agama secara umum, namun masih ada pertanyaan tentang apa yang menjadi obyek penelitiannya dan metodologi pengkajiannya. Namun, kali ini kita akan mengkaji metodologi studi agama-agama, kususnya tiga agama samawi, yaitu Islam, Yahudi dan Nasrani. Banyak sekali cara-cara yang di tempuh untuk mengkaji agama-agama, yang mana akan dibahas secara mendalam dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian Agama?
2.      Bagaimana Konsep Agama?
3.      Bagaimana Unsur-unsur Agama?
4.      Bagaimana Pendekatan Studi Agama?
5.      Bagaimana Metodologi Studi Agama Menurut Para Ahli?
6.      Bagaimana Penelitian Agama?



C.    Tujuan Makalah
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Agama
2.      Untuk Mengetahui Konsep Agama
3.      Untuk Mengetahui Unsur-unsur Agama
4.      Untuk Mengetahui Pendekatan Studi Agama
5.      Untuk Mengetahui Metodologi Studi Agama Menurut Para Ahli
6.      Untuk Mengetahui Penelitian Agama
























BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Agama
Agama adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan; akidah, din, ajaran atau kepercayaan yang mempercayai satu atau beberapa kekuatan ghaib yang mengatur dalamn menguasai alam, manusia dan jalan hidupnya.[4]
Menurut Elizabet K. Nottingham dalam bukunya Agama dan Masyarakat, berpendapat  bahwa agama adalah: gejala yang begitu sering terdapat di mana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abtraksi ilmiah.[5]
Adapun menurut Harun Nasution agama adalah pertama, pengakuan terhadap adanya hubungan manusia. Kedua, pengakuan terhadap  adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. Ketiga, mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. Keempat, kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. Kelima, suatu sistem tingkah laku code of conduct  yang berasal dari kekuatan gaib. Keenam, pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib. Ketuju, pemujaan pada sumber kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. Kedelapan, ajaran yang di wahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.[6]

B.   Konsep Agama
Dalam memberi pengertian tentang istilah agama, Harun Nasution juga mengadopsi pendapat lain. Dikatakan bahwa term agama juga bisa bermakna teks atau kitab suci. Hal ini merujuk bahwa masing-masing agama memiliki kitab suci sebagai acuan ajarannya. Lebih lanjut, kata “gam” sendiri sebagai unsur atau akar kata pembentuk “agama” juga bermakna tuntunan. Hal terakhir ini, dalam pandangan Harun Nasution, mengacu pada pengertian bahwa memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.
Sedangkan terhadap “din”, term yang disepadankan dengan “agama”, oleh Harun Nasution dimasukkan sebagai kata yang berakar dari rumpun Bahasa Semit. Kata ini berarti undang-undang atau hukum. Dalam Bahasa Arab, kata yang sama mengandung arti “menguasai”, “menundukkan”, “patuh”, “hutang”, “balasan” dan “kebiasaan”. Dalam memaknai masing-masing makna kata tersebut, Harun menjelaskan bahwa pengertian agama secara umum terkandung dalam istilah-istilah yang telah dibahas. Ia kemudian mengambil sebuah konklusi bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah yang merujuk pada agama di atas ialah kata “ikatan”. Jadi agama adalah ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.[7]
Penggunaan kata “agama” di Indonesia memang telah digunakan secara umum. Peminjaman kata agama oleh Islam di Indonesia untuk mempermudah proses transfer ilmu. Selain itu kata agama sendiri telah mengalami perubahan substansi dengan masuknya pengertian baru melalui proses islamisasi bahasa. Hal yang sama juga terjadi pada istilah “sembahyang” yang awalnya merupakan ekspresi ritual kaum animisme, diberi makna baru dan menjadi istilah lain untuk ibadah shalat. Kata “Surga” yang awalnya merupakan sebuah pengaruh proses Indianisasi untuk menjelaskan sebuah bentuk kehidupan ideal dan sakral di alam nirwana, diisi makna baru yang disepadankan dengan konsep jannah dalam Islam.
Pemberian makna terhadap “istilah” agama di atas tentu tidak terlalu bermasalah. Hanya perlu ditambahkan bahwa awalnya konsep agama sebenarnya menunjuk pada proses pengajaran agama Budha.[8] Agama memiliki makna dasar “tidak pergi” bisa dijelaskan pada perilaku para murid yang hendak belajar agama mereka tidak akan meninggalkan sang guru (rshi) sampai pelajaran itu dapat diselesaikan. Masalahnya selanjutnya adalah Harun Nasution menyamakan begitu saja konsep dari berbagai istilah itu tanpa menjelaskan bahwa masing-masing term pada dasarnya memiliki kekhususan sendiri, baik dari sisi makna awal, proses, maupun pemberian makna baru. Bentuk kajian yang bersifat demikian tentu bisa menyebabkan kesalahfahaman.
Sedangkan kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab dyn, dalam pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, memiliki banyak penanda dasar yang secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan semuanya menampilkan diri sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. ‘Keseluruhan’ ini menggambarkan bahwa apa yang dimaksud sebagai Agama Islām, telah terkandung di dalam dirinya semua makna mungkin yang relevan dan inheren dalam konsep dīn. Penanda dīn, menurutnya, dapat dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, (1) keberhutangan; (2) ketundukan; (3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah.[9]
Lebih lanjut Al-Attas mengatakan bahwa kata kerja dana yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk berbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang. Diantara makna yang terkandung dalam situasi ini adalah fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah melibatkan pengadilan: daynunnah, dan kesaksian: idanah, sebagaimana kasus tersebut.   Semua penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dana hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang ditunjuk dengan mudun atau mada’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, seorang dayyan. Jadi hanya dengan menghadirkan berbagai ragam penggunaan kata kerja dana, bisa dilihat hadir sebuah gambaran kehidupan yang beradab; lengkap dengan kehidupan sosial, hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas.
Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja dan harus dikemangkan lagi. Maddana yang berarti: membangun atau beradabmemperbaiki dan memanusiakan; darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial.
Belum lagi apabila derivasi makna itu dilanjutkan pada kata-kata lain yang berasal dari akar kata yang sama. Dengan melakukan derivasi dari penanda dasar pada kondisi berhutang penanda lain yang berhubungan, yang lain seperti: menghina diri sendirimelayani (seorang tuan), menjadi diperbudak; dan dari penanda seperti hakim, pengatur, pemerintah terdapat tanda yang diturunkan makna yang menandakan menjadi perkasaberkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang dijanjikan). Kini inti gagasan tentang hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini adalah sebuah kondisi yang biasa atau terbiasa.
Dari sini, kemudian, kita dapat lihat logika dibalik turunan dari penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adatkebiasaankarakter atau kecenderungan alamiah. Pada tahap ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian yang benar akan kecenderungan alamiah manusia untuk membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan sebuah kerajaan atau negara, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan kita adalah yang paling penting dalam membantu mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentangnya.[10]
Penggunaan istilah religi dengan menyepadankan maknanya dengan agama, sebenarnya juga bukan tanpa masalah. Meski hal ini seperti telah menjadi kecenderungan umum namun, sekali lagi, bahwa hakikat setiap kata mewakili suatu makna yang berasal dari suatu cara pandang tertentu terhadap realitas hendaknya tidak diabaikan.
Religi berasal dari kata Bahasa Latin religere, yang diadopsi ke dalam Bahasa Inggris menjadi religion.
Kata religere bermakna mengumpulkanmembaca. Hal ini Harun Nasution memaknai ini bahwa agama merupakan kumpulan-kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Pendapat lain menyebutkan berasal dari kata religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama menurut Harun memang bersifat mengikat manusia.[11]
Sebenarnya maknanya awal religi menunjuk pada berbagai praktik dan kultus yang terjadi di dalam dan di sekitar Roma, sebelum muncul Kristen. Ketika Roma menjadi Kristen, religi Kristiani ditetapkan sebagai kepercayaan dominan dan semua kepercayaan lain diserap atau dihapuskan.  Namun kata religio pada masa ini ternyata tidak diterapkan terhadap Kristen, karena sebagai satu-satunya agama yang diakui sah, Kristen dikenal dengan nama “Gereja” (Church). Setelah era reformasi Gereja, kata religio lantas diasosiasikan dengan kepercayaan Kristen dan cara hidup yang berada di luar Gereja Katolik. Protestanisme dipertentangkan dengan kependetaan dan karena itu dianggap sebagai religi kaum awam.
Pada tahun sekitar 1593 Jean Bodin, filosof Perancis, menerbitkan karyanya Colloquium Heptaplomeres, yang mengemukakan pemahaman mengenai religi, termasuk keyakinan-keyakinan non-Kristen. Pada abad ke-18, “religion” mulai digunakan sebagai konsep ilmiah, merujuk pada sistem kepercayaan selain Kristen. Meskipun “religion” berarti semua kepercayaan, ketika ilmuwan Eropa menulis tentang religion secara kritis, yang mereka maksudkan adalah Protestanisme (sebagaimana ungkapan Karl Mark tentang religion sebagai candu intelektual) atau religi terlembaga (Katolikisme) sebagai lawan dari religi orang beriman (Protestan).[12]
Penggunaan istilah “religi” pada masa kini tidak mampu mewadahi hakikat makna yang terkandung dalam terminologi diin sebab pada saat yang bersamaan “religi” juga mewujudkan adanya suatu asosiasi lengkap terhadap Kekristenan mencakup semua doktrin, ritual, dan sejarahnya. Dalam kaca mata Barat, istilah “religion” akan terhubung dengan suatu alam pandang yang membuat orang berfikir tentang inkuisisi, tahayul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, eksekusi dukun, larangan-larangan, ketakutan, pengakuan dosa, gila, dan sejumlah persepsi lainnya.[13] Pandangan Barat terhadap hakikat agama hingga hari ini nampaknya belum sepenuhnya lepas dari hal ini. Tanpa sadar sejarah Kristen selama bersentuhan dengan masyarakat Barat terbawa dalam kancah pembentukan persepsi baru terhadap maknanya.
Dari pembahasan di atas lantas muncul suatu pertanyaan yang merujuk pada pengungkapan motif yaitu mengapa Harun Nasution berupaya mencampur adukkan pengertian agama, din, dan religi pada saat bersamaan ? Dalam banyak kesempatan bahkan ia menyetujui makna dan gagasan yang secara inheren terkandung dalam masing-masing ungkapan. Untuk itu pemaknaan konsep agama bisa dilihat dari konsep agama masing-masing. Secara garis besar konsep agama merupakan konsep manusia terhadap ketuhanan dan sosial untuk berjalan dengan baik. Konsep agama juga memberaikan kontrubusi yang damai, karna agama lahir untuk menyelamatkan manusia dari perilaku tercela. Tentunya konsep agama yang dimiliki setiap agama tidak lain merupakan pondasi prinsip hidup manusia agar kokoh dalam kebaikan, seperti tuntunan maupun ajaran-ajaran agama yang mengarahkan manusia dengan baik.

Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggl9p8yLbVp-Cz14tX0w30i_CYwk5zc8l6rWcPA1bGjF3xeQtRaC7pTAWU4ExuyvDowUwwbbZ2LhBiS7vITmykcKffkGMWzEPlRa1vq0Mpo-jjxiHxnOf11udMPo6yzDaNcQl5y9zRQ24/s1600/New+Picture.pngPeta Konsep Agama







C.   Unsur-unsur Agama
            Dengan pemahaman yang terbentuk dari berbagai istilah terkait “agama” diatas, Harun Nasution lantas menunjukkan bahwa setiap agama memiliki unsur-unsur yang sama dan identik. Unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama itu antara lain adalah sebagai berikut:[14]
1.      Kekuatan gaib: manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu manusia harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
2.      Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
3.      Respons yang bersifat emosional dari manusia. Respon itu biasa mengambil bentuk perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama-agama primitive, atau perasaan cinta, seperti yang etrdapat dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitive, atau pemujaan yang terdapat adalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu juga mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
4.    Paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.

Terkait unsur pertama yang ada dalam agama, yakni kekuatan gaib, Prof. Rasjidi mengkritik bahwa dalam Islam seorang mukmin tidak hanya percaya kepada kekuatan gaib tetapi pada alam gaib yang tidak terjangkau oleh panca indra. Lebih dari itu Allah dalam Islam, bukan sekedar sebuah kekuatan. Ia merupakan oknum atau zat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang menunjukkan superioritasnya.[15] Dengan demikian Allah bukan sekedar sebuah kekuatan melainkan pemilik kekuatan itu sendiri.
            Pada bagian kedua, Harun berupaya menekankan bahwa kesejahteraan manusia tergantung pada adanya hunungan dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Menurut Rasjidi, ungkapan ini memberi kesan bahwa kekuatan gaib yang bersangkutan bersifat autoritatif, sebab menghajatkan agar manusia menyesuaikan diri untuk menghadapi kekuatan gaib yang bersangkutan. Hal ini merupakan gambaran umum yang biasa disampaikan oleh kesarjanaan Barat dalam memandang fenomena yang disebut agama. Selanjutnya agama dianggap sebagai genus yang memiliki spesies-spesies yang bermacam-macam.
            Sedangkan tentang respon emosional manusia, Harun justru menunjukkan bahwa dirinya terpengaruh dengan gaya berfikir agama Masehi. Kristianitas menganggap bahwa agamanya merupakan ajaran monoteis namun pada saat yang sama justru mengakui adanya tiga oknum tuhan yang dimanifestasikan melalui konsep trinitas. Dalam kekristenan cinta merupakan suatu kata kunci. Manusia cinta Tuhan dan Tuhan cinta manusia, bahkan Tuhan adalah cinta. Hal yang terakhir ini tentu saja merupakan hasil pergulatan teologis yang tumbuh dalam aliran sejarah.
            Islam dalam pandangan Rasjidi, justru menunjukkan bahwa sikap manusia terhadap Allah bukan sekedar cinta melainkan juga takut yang diwujudkan dalam penggunaan kata khasyah dan khauf. Jadi sikap takut bukan hanya terdapat dalam agama primitif saja tetapi jelas bisa ditemukan dalam Islam. Meski demikian konsep takut dalam Islam jauh lebih tinggi dan lebih halus dari takut dalam agama primitif.

D.   Pendekatan Studi Agama
Dalam melakukan studi agama-agama dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang akan memudahkan kita untuk mengkaji masalah ini, diantaranya:[16]
1.      Pendekatan Teologis Normatif, pendekatan ini dalam arti harfiah dapt diartikan sebagai upaya memahami agamadengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
2.      Pendekatan Antropologis, yaitu sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat’
3.      Pendekatan Sosiologis, yaitu suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan dengan berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
4.      Pendekatan Filosofis, berfikir secra filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
5.      Pendekatan Historis, sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur temppat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dan dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
6.      Pendekatan Kebudayaan, yaitu hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat, dan sebagainya. Kebudayaan yang demikian dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknyaatau agama yang tampildalam bentuk formal yang menggejala dalam masyarakat.
7.      Pendekatan Psikologi, ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajarijiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Dengan ilmu jiwa ini selain seseorang dapat mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.

E.   Metodologi Studi Agama Menurut Para Ahli
Mengkaji fenomena keagamaan, berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat yang beraalasan dari suatu kegaiban. Di lain pihak, kita dihadapkan berbagai metode dalam mengkaji agama-agama.
Adapun pendapat dari beberapa para ahli/pakar adalah sebagai berikut:
1.    Metodologi Jalaludin Rakhmat[17]
Agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian sosial, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis. Pernah Mukti Ali bertanya ‘’,,,,apakah penelitian agama akan meminjam hasil-hasil pengamatan dan penelitian ilmu-ilmu sosial itu? Ataukah penelitian agama seharusnya mempunyai alat-alatnya sendiri untuk menghadapi dan meneliti situasi konkrit itu?”. Kita menjawabnya dengan menyatakan bahwa pertanyaan itu tidak relevan. Penelitian agama disebut penelitian agama, bukan karena metodenya, tetapi karena bidang kajiannya. Karena itu, uraian ini pertama-tama membahas bidang kajian agama, dengan menunjukkan karakteristik distinktifnya. Selanjutnya kita akan membicarakan peta penelitian agama untuk Indonesia dengan menggunakan tiga paradigma epistemologis: ilmiah, akliah dan irfaniah.
Tabel: Bidang Kajian Penelitian Agama
Bidang Kajian
Ajaran

Dimensi Keagamaan
Paradigma
Ideologis
Intelektual
Eksperiensial
Ritualistik
Konsekuensial
Ilmiah
Akliah
Irfaniah

X
X
X

X
X
X

X
X
X

X
X
X

X
X
X

X
X
X


Dengan menggunakan tabel diatas, kita memiliki tidak kurang dari 18 jenis penelitian agama. Untuk setiap paradigma, untuk 6 jenis penelitian agama. Contoh, dengan paradigma ilmiah, kita dapat meneliti apakah al-Qur’an lebih menitik beratkan aspek sosial dari pada aspek teologis, ataukah naskah shahih Bukhari yang ada sekarang ini otentik; atau apakah tema utama yang terdapat pada kitab-kitab kuning yang ada di pesantren di Indonesia. Dengan paradigma akliah, kita dapat mengkaji perspektif al-Qur’an tentang sejarah umat manusia; ataukah terdapat konsistensi  logis dalam beberapa teks hadits tentang sifatAllah; atau bagaimana pola penafsiran Al-Ghozali tentang manusia. Dengan paradigma irfaniah, kita dapat mengkaji aspek esoteris dari makna ayat-ayat al-Qur’an atau al-Hadits.
2.    Metodologi Abdullah Fadjar[18]
Penelitian kuantitatif arah baru penelitian agama. Topik ini di maksudkan sebagai bagian dari pokok bahasan kesatu dalam satuan seminar, yakni metodologi penelitian agama dan kaitannya dengan lmu-ilmu sosial: suatu analisis komperatif. salah satu bagian yang terangkum di dalamnya ialah kecenderungan kuantifikasi dalam ilmu sosial dan kemungkinan penerapannya di dalam ilmu keagamaan. kecendrungan ilmu sosial dalam kuantifakasi ternyata memperoleh sambutan hangat dalam kajian–kajian keagamaan. Bahkan, dengan agama membukakan pintu dan jendela bagi pendekatan kuantitatif terentang satu arah baru dalam kegiatan penelitian agama. Sejak mula kejadian manusia sudah menghadirkan baku bantah. bahkan baku bantah itu antara tuhan pencipta dan iblis. karena itu tidak mengherankan kita jika hasil budidaya manusia sendiri dinamakan ilmu pengetahuan menimbulkan baku bantah: tentulah hal ini terjadi di antara manusia sekurang-kurangnya yang sama-sama menggeluti ilmu pengetahuan.
Pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif memang berbeda dalam menangani ilmu pengetahuan sosial, budaya dan agama. Metodolagi penelitian kuantititif berbeda dengan penelitian kualitatif, baik dalam pandangan dasar keilmuannya ataupun dalam teknik-teknik yang di gunakan. Bahkan oleh masing-masing pendukung dan simpatisannya dua pendekatan tadi dipertentangkan.
Diatas telah disebut bahwa terhadap perbedaan-perbedaan itu para pendukung dan simpatisan masing-masing pendekatan saling bertentangan. Masing-masing menyatakan metodenya secara inheren lebih superior dari yang lain. Peneliti-peneliti kualitatif memandang penelitian kuantitatif kurang validitasnya, sememtara peneliti kuantitatif mengkritik peneliti kualitatif tidak representatif, impressionistik, tidak reliabel dan subyektif.
3.    Metodologi Abuddin Nata.[19]
Seseorang yang akan menyusun kontruksi teori penelitian terlebih dahulu perlu mengetahui bentuk dari macam-macam penelitian, karena perbedaan bentuk atau macam penelitian yang dilakukan akan mempengaruhi bentuk kontruksi teori penelitian yang dilakukan, termasuk pula penelitian agama.
Penelitian dapat mengambil bentuk bermacam-macam tergantung dari sudut pandang mana yang akan digunakan untuk melihatnya. Dilihat dari segi hasil yang ingin dicapainya, penelitian dapat dibagi menjadi penelitian menjelajah (exploratory atau  deskritif) dan penelitian yang bersifat menerangkan (explanatory). Dalam penelitian yang bersifat menjelajah, dimana pengetahuan mengenai persoalan masih sangat kurang dan belum ada sama sekali, maka teori-teorinya belum ada atau belum diperlukan. Demikian pula dengan penelitiaan yang bersifat deskriptif. Sedangkan penelitian yang bersifat menerangkan dimana sudah pasti ada teori-teori yang menjadi dasar hipotesa-hipotesa yang akan diuji, jelas memerlukan teori.
Selanjutnya jika dilihat dari bahan-bahan atau obyek yang akan diteliti, maka penelitian dapat dibagi menjadi penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan bahan-bahan tertulis seperti manuskrip, buku, majalah, surat kabar dan dokumen lainnya. Dan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari sasaran penelitian yang selanjutnya disebut informan atau responden melalui instrumen pengumpulan data seperti angket, wawancara, observasi dan sebagainya.
Jika dilihat dari segi menganalisanya, maka penelitian dapat dibagi menjadi penelitian yang bersifat kualitatif dan bersifat kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap obyek penelitian yang bersifat sosiologis, sedangkan penelitian kuantitatif dilakukan terhadap obyek penelitian yang bersifat fisik, material dan dapat dihitung jumlahnya. Sikap keagamaan, kecerdasan, pengaruh kebudayaan dan lain sebagainya termasuk obyek penelitian yang bersifat kualitatif. Sedangkan penelitian yang ingin mengetahui jumlah kelulusan, jumlah yang melanggar peraturan dan sebagainya dapat dilakukan penelitian yang bersifat kuantitatif. Jika dilaihat dari metode dasar dan rancangan penelitian yang digunakan, maka penelitian dapat dibagi menjadi penelitian yang bersifat historis, perkembangan, kasus, korelasional, kausal-komparatif, eksperimen sungguhan, eksperimen semu dan penelitian tindakan (action research).
Selanjutnya Masri Singarimbun bertolak dari segi metode dan rancangan yang digunakan, membagi penelitian menjadi penelitian survei, penelitian eksperimen dan grounded reserch.
4.    Metodologi Studi Agama Islam.[20]
Ali Syari’ati mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara ialah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya adalah dengan mempelajari kitab al-Qur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Tetapi ada cara lain lagi, yaitu dengan mempelajari kepribadian Rosul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Dan satu cara lagi yaitu dengan mempelajari tokoh-tokoh islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun pemikiran aliran-aliran lain. Seluruh cara ini pada intinya adalah metode perbandingan (komparasi). Dapat dimaklumi bahwa melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekurangan diantara berbagai yang dibandingkan itu. Namun sebagaimana diketahui secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan memerlukan obyektifitas, tidak ada pemihakan, blank mind, tidak ada pra konsepsi  dan semacamnya. Hal ini biasanya sulit dilakukan seseorang yang meyakini kebenaran suatu agama yang dianutnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama kelihatannya baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang baru mau beragama.
Selain menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syatiri juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan ataupun masyarakat, dan sebagai intelektual dia memikul amanah dari masa depan umat manusia yang lebih baik.
Selanjutnya terdapat pula metode memahami Islam yang dikemukakan Nasruddin Razak Sebagaimana yang sebelumnya, Nasruddin Razak menawarkan metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Menurutnya bahwa memahami Islam secara menyeluruh adalah penting walupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lainnya. Cara tersebut juga ditempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang dapat menimbulkan sikap dan pola beragama yang salah pula. Untuk memahami islam secara benar ini, ia mengajukan empat cara: Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya mengenalnyadari sebagian ulama’ dan pemeluknya yang telah jauh daribimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan caara parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat yang tidak secara sebagian saja. Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama’ besar, kaum zuama dan sarjana-sarjana Islam. Karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman yang lebih baik. Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam al-Qur’an , baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, sosiologis yang ada di masyarakat.
5.    Metodologi Studi Agama Nasrani
Agama Nasrani sering juga disebut dengan agama Kristen atau agama Masehi. Ketiga sebutan tersebut mempunyai riwayat masing-masing. Kata nasrani dikaitkan dengan nama sebuah kota disebelah utara Palestina, Nazareth. Dari kota ini yesus berasal dan dibesarkan sehingga pengikut ajarannya disebut Nasrani. Kata Kristen berasal dari kata Kristus, gelar kehormatan keagamaan Yesus yang berasal dari Nazareth tadi. Kristus adalah bahasa Yunani (Kristos) yang berarti diurapi. Kata ini sangat populer di dunia barat yaitu dengan sebutan Cristianity, yang juga berlaku di Indonesia dengan Kristen (bukan Nasrani atau Masehi). Kata Masehi ada hubungannya dengan Messies bahasa ibrani yang artinya sama dengan Kristus yang (yang diurapi) sebutan ini pulalah yang tercantum dalam beberapa ayat suci al-Qur’an, dengan kata; al-Masih Isa bin Maryam. Sedangkan penganut agama ini oleh al-Qur’an disebut dengan al-Nasara. Yang dimaksud dengan agama Nasrani, Kristen atau Masehi adalah semua ajaran dan golongan yang didasarkan atas ajaran-ajaran Yesus Kristus. Atau agama yang bersifat etik, sejarah, Universal, Monotheis, ddan penebusan. Dimana hubungan antara Tuhan dan manusia terjadi dengan perantara dan pekerjaan Yesus Kristus. Yaitu agama yang mencvakup lebih dari lima ratus sekte atau aliran dengan gerejanya masing-masiang. Adapaun sekte yang terbesar adalah; Katholik Roma, Katholik Ortodoks, Anglikan, Protestan dan beberapa sekte kecil lain.[21]
Walaupun paulus bukanlah salah seorang murid Yesus yang berjumlah 12 orangtetapi ia mengaku bahwa dialah yang menjadi pengikut Yesus yang paling setia. Malah ada kecenderungan yang menunjukkan bahwa kedudukan Paulus lebih dimulyakan daripada keduabelas murid yesus, atau ada tuduhan bahwa sebenarnya agama Nasrani sekarang ini adalah ajaran Paulus. Karena kenyataan tersebutb dikemukakan bersama-sama.[22]
Paulus merupakan tokoh penting dalam agama Kristen disamping Yesus. Karena sepeninggal Yesus, Pauluslah yang sangat berperan dalam membentuk ajaran agama Kristen. Padahal Paulus ini banyak sekali yang menyimpang dari ajaran Yesus. Sehingga terjadinya perubahan ajaran Nasrani daria ajaran yang asli yang diajarkan nabi Isa (Yesus) terjadi semenjak peranan Paulus ini cukup besar.[23]
Tentang kedudukan Paulus yang sekarang ini hampir sederajat dengan kedudukan Yesus, terbukti dengan ke-14 suratnya yang semua termuat dalam Perjanjian Baru. Sehingga isi Kisah Rasul-Rasul seolah-olah hanya menceritakan kisah Paulus saja. Walaupun dia sebenarnya justru bukan Rasul atau murid Yesus dan malam belum pernah berjumpa dengan Yesus. Kenytaan inilah yang menimbulkan pendapat bahwa sebenarnya yang disebut agama Nasrani itu tidak lain adalah ajaran Paulus.[24]
Para Ulama Barat sendiri telah menyimpulkan adanya tujuh macam ajaran paulus yang menyalahi ajaran Yesus, tetapi dipegang teguh dalam ajaran Nasrani. Ketujuh ajaran Paulus tersebut adalah:[25]
1.    Nabi Isa selalu mementingkan dalam khotbah-khotbahnya tentang akan datangnya kerajaan Allah; sedangkan pada ajaran Paulus dititikberatkan kedatangan kembali dari Isa itu sendiri sehingga timbul adanya ajaran Messianisme, akan datangnya Messiah.
2.    Nabi Isa tidak pernah membicarakan tentang adanya dosa warisan sedangkan paulus telah mengajarkan adanya dosa warisan.
3.    Nabi Isa mengajarkan tentang pengampunan dari tuhan atas penyesalan dan tobat sungguh-sungguh dari hambanya pada perkataan dan perbuatan manusia dan atas dasar sifat pengampunan-Nya Tuhan itu sendiri, sedangkan Paulus menyatakan pengampunan Tuhan pada penyaliban Yesus.
4.    Nabi Isa tetap mengakui hukum Taurat berlaku bagi pengikutnya, sedangkan Paulus telah menggantikan Hukum Taurat dengan Iman kepada penyaliban Yesus untuk menebus dosa manusia.
5.    Syariat Taurat tidak berlaku lagi dengan mengajarkan Injil dalam lingkungan Yahudi saja, sedangkan pada Paulus Injil diajarkan pula pada orang-orang Yahudi.
6.    Nabi Isa mewajibkan kepada pengikutnya meneruskan Hukum Ibrahim  tentang bersunat atau khitan, sedangkan Paulus tidak mewajibkan lagi.
7.    Nabi Isa menyangkal dan menolak kalau dirinya dipertuhankan disamping Tuhan YME, sedangkan Paulus mengangkat Isa sebagai Tuhan, dan menganggap dirinya sebagai penjelmaan dari Kristus.
Dasar ajaran Nasrani disebut Kristosentrisme artinya ajaran yang berpusatkan kepada diri Yesus Kristus terhadap diri Yesus, didatangkan sebuah pengakuan Imam yang khusus, yaitu Yesus sebagai sepenuhnya Tuhan dan Yesus sebagai sepenuhnya Manusia. Pengakuan Imam inilah yang melahirkan beberapa kali pertemuan konsili atau kongres yang diikuti terhadap agama Nasrani, untuk membicarakan bagaimana setatus Yesus yang sebenaranya. Yesus yang merupakan satu dari tritunggal Tuhan sebetulnya memang menimbulkan satu kesulitan dalam kepercayaan Nasrani, tetapi mereka berusaha menjelaskan sampai muncul jawaban bahwa soal tersebut adalah soal tekad (iman) bukan soal pengertian.[26]
6.    Metodologi Studi Agama Yahudi
Setidaknya terdapat tiga istilah yang sering digunakan untuk penyebutan terhadap umat Yahudi, yaitu; Yahudi, Ibrani dan Israel. Adapun perkataan atau istilah Yahudi itu senderi berasal dari bahasa Arab yang berarti bertaubat atau orang yang bertaubat. Kata Yahudi merupakan satu nama yang lazim dikaitkan dengan putra keempat nabi Ya’kub bernama Yahuda. Sedangkan dalam al-Qur’an disebut bani Israel yang berarti keturunan Israel sebuah gelar bagi nabi Ya’kub yang berarti ‘’Pejuang untuk Tuhan’’ atau yang taat dan berbakti pada  Allah. Kata diatas juga dapat dikaitkan dengan perkataan nabi Musayang pernah diucapkannya; inna hudna ilaika, artinya kurang lebih; kami tunduk dan kembali taubat. Istilah Ibrani berasal dari kata abara yang berarti menyebrang. Dinamakan Ibrani, karena mereka datang dengan menyebrangi sungai Eufrat dibawah pimpinan Ibrahim as.
Sebutan Israel dipakai juga karena dinisbatkan dengan nenek moyang mereka yaitu Ya’kub yang juga bernama Isra’il. Oleh karena itu, mereka dikenal dengan sebutan bani Israil, anak turunnya Israil (Ya’kub). Adapun yang paling populer diantara ketiga istilah diatas adalah Yahudi atau Yudaisme. Dalam sejarah dijelaskan bahwa nabi Ya’kub mempunyai duabelas orang, yaitu; Rubin, Simeon, Lewi, Yahuda, Zebulon, Isakhar, Dan, Gad, Asyer, Natali, Yusuf dan Benyamin.[27]
Ada beberapa kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama Yahudi, seperti Torah (Taurat), Talmud, Septuaginta dan Pentateuch. Tetapi intinya adalah kitab Taurat atau Perjanjian Lama. Inti ajaran Yahudi terkenal dengan sebutan ‘’Sepuluh Firman Tuhan’’ atau Ten Commandments atau Decalogue, (Grik, deca=10, Logue= Risalah). Kesepuluh firman Tuhan tersebut diterima oleh nabi Musa di bukit Sinai (Tur Sina), ketika terjadi dialog langsung antara Tuhan dengan Musa. Firman Tuhan tersebut Oleh Musa lansung ditulis di atas sobekan kulit-kulit hewan atau batu. Demikianlah menurut Louis Finkestein, editor buku The Jews, Their Religion and Culture. Adapun sepuluh firma Tuhan tersebut adalah:[28]
a)    Dilarang menyembah selain Allah.
b)   Dilarang menyembah berhala.
c)    Dilarang menyebut nama Allah dengan main-main.
d)   Wajib memuliakan hari sabtu
e)    Wajib memuliakan ayah dan ibu.
f)    Dilarang membunuh sesama manusia.
g)   Dilarang berzina.
h)   Dilarang mencuri.
i)     Dilarang bersaksi palsu.
j)     Dilarang mengingini istri dan hak orang lain.
Sepuluh firman tersebut ternyata mengandung aspek-aspek aqidah, ibadah, syari’ah, hukum dan etika. Agama Yahudi percaya dengan adanya Tuhan yang Maha Esa, tetapi tuhan yang khusus hanya untuk bani Israil, bukan Tuhan untuk bangsa lain. Mereka tidak pernah menyebut nama Tuhannya dengan langsung karena mungkin akan mengurangi kesucian-Nya. Oleh karena itu Israil melambangkan-Nya dengan huruf mati YHWH, tanpa bunyi. Lambang ini bisa dibaca YaHWeH atau Ye-Ho-We atau YeHoVah.[29]
Agama Yahudi bukan agama Missionari ataupun Dakwah. Umat Yahudi tidak ingin dan tidak memerlukan orang non-Israel menjadi Yahudi. Itu adalah ajaran Yahudi. Tetapi, mereka merasa puas bilamana politik mereka diterima oleh orang lain, suka atau tidak suka; uang mereka ada di bank-bank di seluruh dunia dipinjam dan dijalankan oleh bangsa non-Yahudi dengan bunga sebagaimana mereka harapkan sehingga mereka mendapatkan keuntungan seperti yang mereka harapkan.[30]
Untuk Penelitian keagamaan yang sasarannya adalah Agama sebagai gejala sosial, tidak perlulah membuat metodologi penelitian tersendiri. Penelitian ini cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada. Memang kemungkinan lahirnya suatu ilmu tidak pernah tertutup, tetapi tujuan peniadaannya adalah agar sesuatu ilmu jangan dibuat secara artifisial karena semangat yang berlebihan.

F.    Penelitian Agama
Dalam pandangan Juhaya S Praja, penelitian Agama adalah penelitian tentang asal-usul Agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran Agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas juhaya, terdapat dua bidang penelitian Agama, yaitu sebagai berikut:
a.       Penelitian tentang sumber ajaran Agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadist.
b.      Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran Agama itu.
Sedangkan penelitian tentang hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran Agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut:
1.    Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas Agama yang dianutnya.
2.    Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu Agama.
3.    Ajaran Agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama.
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penelitian keagamaan dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Penelitian Eksploratif
b) Penelitian Deskriptif
c) Penelitian Historis
d) Penelitian korelasional
e) Penelitian Eksperimen
Adapun model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian Agama dan penelitian keagamaan. Akan tetapi, disini dikutip karya Djamari mengenai metode sosiologi dalam kajian Agama, yang secara tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian Agama melalui pendekatan sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung, menjelaskan bahwa kajian sosiologi Agama menggunakan metode ilmiah. Yaitu:
1)   Analisis sejarah
2)   Analisis lintas budaya
3)   Ekspeimen
4)   Observasi partisipatif
5)   Riset survey dan analisis statistik
6)   Analisis isi



























BAB III
ANALISIS
Makna  dalam penafsiran agama merupakan sisi dari sudut pandang orang yang memberikan pemaknaan, Al Quran banyak fersi pemaknaan maupun penafsiran akan tetapi dalam kajian lingustik bahasa yang berbeda namun lafad Al Quran tetap sama dengan Quran lianya. Perbedaanya terletak pada pemaknaan, karna itu Max Weber menjelaskan makna atau disebut pemaknaan merupakan doktrinitas. Mampu memberikan penekanan dalam kepentingan sekelompok agama yang fanatik dengan lainya. Kepentingan inilah yang harus disikapi, seperti yang kita jumpai dalam kasus Ahok ditudu penistaan agama dalam memahami pemaknaan lafad Quran. Tentunya dalam dunia politik ada kepentingan tersendiri yang harus dilibatkan atau bisa juga ada pihak ketiga yang sengaja mengkonflikan antara dua sisi. Bagi orang awam tentu merasa tidak nyaman dengan keadaan yang memanas wacana tersebut. Perlu ada kebijakan dalam memahami pemaknaan dari sudut toleran, pluralis, dan nasoinalis. Seperti tokoh pembahruan Islam ialah Hassan Hanafi pelopor pembahruan Islam yang sangat penting, beliau melibatkan kebudayaan Islam untuk bersifat nasionalis. Dalam bukunya Hassan Hanafi juga membahas linguistik bahasa dalam penjelasanya ialah pemaknaan atau penafsiran harus dengan bahasa membumi untuk bisa memahami semua orang, bahasa yang digunakan bersifat fenomena keadaan, bukan bahasa ketuhanan yang sulit diterima oleh orang awam.
Konsep agama merupakan ajaran-ajaran yang harus dituntun oleh setiap manusia agar manusia mempunyai tujuan sesudah di dunia. Ajaran-ajaran agama perlu tertanam dalam jiwa atau hati, hal ini untuk membatasi manusia berbuat. Lalu bagaimana jika seseorang tidak beragama apakah dituntut untuk beragama? Seperti orang ateis. Hal ini bukan menjadi kebijakan agama, karna agama mempunyai tugas yang sifatnya tidak memaksa. Manusia selagi tidak mengganggu hak orang lain tentu tidak bermasalah. Negara bermonopoli dalam kehidupan manusia untuk mensejahterakan manusia. Antara agama dan negara memang jauh berbeda dalam membatasi manusia untuk berbuat tapi agama dan negara saling bersentuhan. Artinya mereka saling membutuhkan satu sama lain. Untuk itu konsep agama berbijak pada ajaran-ajaran bukan hukum negara.
Dalam konsep agama perlu melihat dari paradigmanya, tentu ada pendekatan-pendekatan yang mempengaruhi agama. Jika seseorang beragama Kristen atau Islam maka pendekatan mereka di wilayah tertentu, tentu konsep agamanya pun berbeda. Ketika membicarakan tentang ketuhanan tentu sangat berbeda. Namun konsep agama tidak lain hanyalah sebuah tuntunan ajaran yang diterapkan manusia.
Sebenarnya konsep agama diciptakan oleh Tuhan ataukah manusia? Hal ini tentu pertanyaan yang mendalam untuk digali. Karna semakin perkembangan zaman semakin konsep agama menggeser alasannya untuk memapankan manusia. Seperti kajian Islam dalam ushul fiqih yang menggali hukum-hukum syariat Islam yang berkembang dari zaman kenabian sampai sekarang. Aspek ini bukan hal yang baru, tentu agama lainya mengalami penggeseran. Bersamaan modernitas berkembang agama juga harus berkembang, hal ini apakah agama yang mengikuti perkembangan manusia atau manusia mengikuti agama? Tentu agama yang memberikan pondasi terhadap manusia.














BAB IV
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1.      Agama adalah keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan yang meyakinikonsep spiritual.
2.      Konsep agama merupakan ajaran dari Tuhan lewat wahyu untuk manusia agar berbuat baik sesuai ajaranya.
3.      Unsur-unsur agama ialah sesuatu yang mendukung dari subtansi agama itu sendiri seperti kitab, keyakinan atau kepercayaan.
4.      Ada beberapa pendekatan agama antara lain:
a.       Pendekatan sosiologis
b.      Pendekatan filosofis
c.       Pendekatan antropologis
d.      Pendekatan teologis
e.       Pendekatan historis
5.      Metodologi studi agama menurut para ahli sangat berfariasi dalam metodenya. Ini artinya bahwa metodologi dapat dikembangkan sesuai kebutuhanya. Ada beberapa tokoh yang mengembangkan metodologi studi agama seperti, Jalaluddin Rahmat, Abdullah Fajar, Abuddin Nata. Atau bisa dari segi keagamaan seperti Islam, Nasrani, Katolik, Hindu.
6.      Penelitian agama ada dua kajian ialah ajaran agama, dan pemikiran. Hal ini memang perlu adanya penelitian agar hasilnya benar-benar real sesuai yang diharapkan.


B.   Saran-saran
Dari kesempatas pembahasan diatas, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:
1.      Untuk makna sebaiknya memahami ilmu linguistik terhadap tekstual untuk memahami konteksual.
2.      Untuk konsep agama tidak lain hanyalah ajaran agama masing-masing, bukan hanya ajran yang digali namun tanamkan nilai nasionalisme untuk beragam agama, tanamkan nilai toleran untuk beragam agama.
3.      Untuk tujuan agama bukan hanya menuntun manusia hidup dengan baik di dunia dan akherat, akan tetapi tujuan agama mampu mensejahterakan manusia dalam kehidupanya.
























DAFTAR PUSTAKA
Abdulllah, Taufik dan Karim, M.Rusli. Metodologi Penelitian Agama. Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1989.
Arifin, Syamsul. Studi Agama; Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer. Malang: UMM Press.  2009.
Assegaf, Abd. Rachman. Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Paradigma Barun Muslim Kaffah. Yogyakarta: Gama Media. 2005.
Farid, Alatas Syed. Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme. Bandung: Mizan Publika, 2010.
Faridi. Manusia dan Agama. Malang: UMM Press. 2001.
Fatimah, Abdullah. Konsep Islam Sebagai Din Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN Al-Attas, dalam Jurnal Islamia  No. 3 September-November 2004.
Hastings, James. Encyclopædia of Religion and Ethics, Vol. VI Fiction-Hyksos, Edinburg: T. & T. Clark, 1914.
Manaf, Mudjahid Abdul. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cet-II, 1996.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2003.
Nurhakim, Moh. Metodologi Studi Islam. Malang: UMM Press. 2004.
Rasjidi. Koreksi Terhadap Harun Nasution Tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Gitamedia Press. 2006.
Weber, Max. The Sociology of Religion, Penerjemah Yudi Santoso. Sosiologi Agama. Jogjakarta: IRCiSoD, 2012.



[1]Max Weber, The Sociology of Religion, Penerjemah Yudi Santoso, Sosiologi Agama, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 58.
[2]Samsul Arifin, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer. (Malang: UMM Press,  2009), 6.

[3]Nurhakim, Moh. Metodologi Studi Islam. (Malang: UMM Press, 2004), 3.
[4]Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya: Gitamedia Press. 2006), 15.
[5]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cet-VIII, 2003), 10.
[6]Ibid,..., 13.
[7] Ibid,..
[8]James Hastings, Encyclopædia of Religion and Ethics, Vol. 1 A-Art, (Edinburg: T. &T. Clark, 1908), 165.

[9]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 41-42.

[10]Ibid,...  143.
[11] Ibid, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari, 10.
[12]Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme, (Bandung: Mizan Publika, 2010), 196-197.
[13]Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai Din Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN Al-Attas, dalam Jurnal Islamia  No. 3 September-November 2004,  49.
[14]Ibid, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari , 16-17.
[15]Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 12.

[16]Abuddin Nata, Metodologi Studi,..., 28.
[17]Taufiq Abdillah, Metodologi Penelitian Agama; Sebuah Pengantar, ( Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1989), 91
[18]Ibid, 97.
[19]Abuddin Nata, Metode Studi, 125.
[20]Ibid, 104.
[21]Faridi, Manusia dan Agama, (Malang: UMM Press. 2001), 71.
[22]Manaf, Mudjahid Abdul. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cet-II, 1996), 70.
[23]Ibid, 73.
[24]Ibid, 74.
[25]Ibid, 75.
[26]Ibid, 80.
[27]Faridi, Manusia dan,..., 101.
[28]Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama,..., 55.
[29]Ibid, 56.
[30]Abddul Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Paradigma Barun Muslim Kaffah, (Yogyakarta: Gama Media, 2005), 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar