PENELITIAN TENTANG MAKNA KONSEP AGAMA
REVISI MAKALAH
Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah
“Metode dan
Pendekatan Dalam Kajian Islam”
Dosen Pengampu:
1.
Dr.
H. Teguh, M, M. Pd
2.
Dr.
Ngainun Na’im, M. HI
Disusun Oleh:
Hasan Khariri
NIM 17501164008
SEMESTER II.A
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG
MEI
2017
PRAKATA
Puji
ayukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadiran
Allah SWT yang telah memberi petunjuk kepada umat manusia, sehingga penulis
mampu menyelesaikan makalah dengan berjudul “Penelitian Tentang Makna Konsep
Agama”.
Sholawat
serta salam semoga tercurahkan kepada bagonda
Rosulullah SAW yang telah memberikan petunjuk kepada umat manusia, sehingga
manusia dapat terbebas dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah.
Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Bapak
Dr. H. Maftukhin, M. Ag selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah memberikan
fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas tepat
waktu.
2.
Bapak Prof. Dr. H.
Achmad Patoni, M. Ag selaku direktur Pascasarjana IAIN Tulungagung yang selalu
memberikan dorongan semangat dalam mengemban ilmu pengetahuan selama
perkuliahan.
3.
Bapak
Dr. Ngainun Na’im, M. HI dan Bapak Dr. H. Teguh, M, M. Pd
4.
selaku dosen
pembimbing mata kuliah Manajemen Lembaga Pendidikan Islam.
5.
Seluruh civitas
kampus Pascasarjana yang selalu memberikan dukungan selama perkuliahan.
6.
Ayah dan Ibunda
tercinta, yang selalu memberikan support dan doanya kepada penulis.
7.
Teman-teman
angkatan 2016 yang telah membantu terselesainya tugas ini.
Penulis menyadari
bahwa karya tulis ini sangatlah sederhana dan masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga penulis mengharapkan dengan senang hati terbuka menerima kritik demi
kesempurnaan karya tulis ini.
Semoga apa yang
telah penulis paparkan dalam karya tulis ini dapat memberikan banyak manfaat
kepada semua pihak, utamanya demi meningkatkan mutu pengetahuan kita. Amin ya
Rabal ‘Alamin.
Tulungagung, 10 Mei 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Judul............................................................................................... i
Kata pengantar............................................................................................... ii
Daftar isi......................................................................................................... iii
Kata pengantar............................................................................................... ii
Daftar isi......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 2
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 2
C.
Tujuan Makalah............................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 4
A. Pengertian Makna.......................................................................... 4
B. Konsep Agama............................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 4
A. Pengertian Makna.......................................................................... 4
B. Konsep Agama............................................................................... 4
C.
Unsur-unsur Agama...................................................................... 10
D. Pendekatan Studi Agama
E. Metodologi Studi Agama Menurut Para
Ahli................................ 19
D. Penelitian
Agama........................................................................... 23
BAB III
ANALISIS......................................................................................
26
BAB IV PENUTUP.......................................................................................
28
KESIMPULAN.............................................................................................. 22
SARAN........................................................................................................... 28
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................... 30
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makna merupakan sebuah
pengertian yang menjelaskan dalam konsep apapun, makna tergantung orang yang
memberi penjelasan sesuai dengan pendekatan seseorang yang memberi makna.
Biasanya makna itu sesuai pemahaman seseorang untuk memahaminaya dan dengan
pengalaman-pengalaman yang aktual dijalani masyarakat. Minatnya terletak kepada
apa yang diinterprestasikan masyarakat sebagai konsekuensi-konsekuensi bagi
mereka.
Max Weber mendalilkan sebuah dorongan dasar menuju makna
dan persolusian ketidak sesuaian di tingkat pemaknaan. Salah satu fungsi yang
cukup relevan adalah seperti yang diemban pra agama, yang perlu diperhatikan
adalah arah yang di dalamnya mendorong perkembangan budaya.[1]
Seiring berkembangnya zaman,
banyak sekali kajian–kajian penelitian ilmiah mengenai berbagai permasalahan
studi agama. Bahkan, menetapkan makna agama tidak kalah sulitnya dengan kajian
ilmiah lainnya. Banyak sekali tulisan tentang bidang ini karena manusia sangat
memperhatikan masalah ini, yang pada dasarnya bersifat kontroversial.
Seringkali tulisan agama dipandang sebagai respon manusia terhadap kekuatan
alam yang besar dan tidak dapat dikontrol, seperti penyakit bahasa, munculnya
ketakutan dan dorongan terhadap keamanan.[2]
Ketika kegiatan penelitian
terhadap agama mulai digalakkan sekitar tahun 1970-an, banyak yang
mempertanyakan, ‘’agama kok diteliti?’’ Bagi mereka, agama sudah pasti benar
karena ia kebenaran wahyu dari Allah, sedangkan penelitian dipahami sebagai
ketidakpercayaan terhadap kebenaran itu. Pemahaman semacam ini dapat dimengerti
karena pengertian tentang agama dan penelitian waktu itu memang masih demikian
di masyarakat umum. Barangkali, pengertian semacam itu masih berlangsung hingga
saat ini di sebagian masyarakat.[3]
Meskipun seseorang dapat
memahami agama secara umum, namun masih ada pertanyaan tentang apa yang menjadi
obyek penelitiannya dan metodologi pengkajiannya. Namun, kali ini kita akan
mengkaji metodologi studi agama-agama, kususnya tiga agama samawi, yaitu Islam,
Yahudi dan Nasrani. Banyak sekali cara-cara yang di tempuh untuk mengkaji
agama-agama, yang mana akan dibahas secara mendalam dalam makalah ini.
Seperti kita melihat agama subjek
atau objek, jika kita melihat agama secara objek maka kita sebagai subjek yang
mengartikan dengan paradigama. Setiap agama di dunia juga harus menyesuaikan
fakta sosial, sering kali konsep agama diperbincang di publik bahkan konsep
agama seperti permasalahan di masyarakat. Meskipun seseorang dapat memahami
agama secara umum, namun masih ada pertanyaan tentang apa yang menjadi obyek
penelitiannya dan metodologi pengkajiannya. Namun, kali ini kita akan mengkaji
metodologi studi agama-agama, kususnya tiga agama samawi, yaitu Islam, Yahudi
dan Nasrani. Banyak sekali cara-cara yang di tempuh untuk mengkaji agama-agama,
yang mana akan dibahas secara mendalam dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Pengertian Agama?
2.
Bagaimana
Konsep Agama?
3.
Bagaimana
Unsur-unsur Agama?
4.
Bagaimana
Pendekatan Studi Agama?
5.
Bagaimana
Metodologi Studi Agama Menurut Para Ahli?
6.
Bagaimana
Penelitian Agama?
C.
Tujuan Makalah
1.
Untuk
Mengetahui Pengertian Agama
2.
Untuk
Mengetahui Konsep Agama
3.
Untuk
Mengetahui Unsur-unsur Agama
4.
Untuk
Mengetahui Pendekatan Studi Agama
5.
Untuk
Mengetahui Metodologi Studi Agama Menurut Para Ahli
6.
Untuk
Mengetahui Penelitian Agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama
Agama adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan;
akidah, din, ajaran atau kepercayaan yang mempercayai satu atau beberapa kekuatan
ghaib yang mengatur dalamn menguasai alam, manusia dan jalan hidupnya.[4]
Menurut Elizabet K. Nottingham dalam bukunya Agama dan
Masyarakat, berpendapat bahwa agama
adalah: gejala yang begitu sering terdapat di mana-mana sehingga sedikit
membantu usaha-usaha kita untuk membuat abtraksi ilmiah.[5]
Adapun menurut Harun Nasution agama adalah pertama, pengakuan
terhadap adanya hubungan manusia. Kedua, pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
Ketiga, mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada
suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia. Keempat, kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang
menimbulkan cara hidup tertentu. Kelima, suatu sistem tingkah laku code of conduct yang berasal dari kekuatan gaib. Keenam, pengakuan
terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan
gaib. Ketuju, pemujaan pada sumber kekuatan gaib yang timbul dari perasaan
lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia. Kedelapan, ajaran yang di wahyukan Tuhan kepada manusia
melalui seorang Rasul.[6]
B.
Konsep Agama
Dalam memberi
pengertian tentang istilah agama, Harun Nasution juga mengadopsi pendapat lain.
Dikatakan bahwa term agama juga bisa bermakna teks atau kitab suci. Hal ini
merujuk bahwa masing-masing agama memiliki kitab suci sebagai acuan ajarannya.
Lebih lanjut, kata “gam” sendiri sebagai unsur atau akar kata pembentuk “agama”
juga bermakna tuntunan. Hal terakhir ini, dalam pandangan Harun Nasution,
mengacu pada pengertian bahwa memang agama mengandung ajaran-ajaran yang
menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.
Sedangkan terhadap
“din”, term yang disepadankan dengan “agama”, oleh Harun Nasution dimasukkan
sebagai kata yang berakar dari rumpun Bahasa Semit. Kata ini berarti
undang-undang atau hukum. Dalam Bahasa Arab, kata yang sama mengandung arti
“menguasai”, “menundukkan”, “patuh”, “hutang”, “balasan” dan “kebiasaan”. Dalam
memaknai masing-masing makna kata tersebut, Harun menjelaskan bahwa pengertian
agama secara umum terkandung dalam istilah-istilah yang telah dibahas. Ia
kemudian mengambil sebuah konklusi bahwa intisari yang terkandung dalam
istilah-istilah yang merujuk pada agama di atas ialah kata “ikatan”. Jadi agama
adalah ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.[7]
Penggunaan
kata “agama” di Indonesia memang telah digunakan secara umum. Peminjaman kata
agama oleh Islam di Indonesia untuk mempermudah proses transfer ilmu. Selain
itu kata agama sendiri telah mengalami perubahan substansi dengan masuknya
pengertian baru melalui proses islamisasi bahasa. Hal yang sama juga terjadi pada
istilah “sembahyang” yang awalnya merupakan ekspresi ritual kaum animisme,
diberi makna baru dan menjadi istilah lain untuk ibadah shalat. Kata “Surga”
yang awalnya merupakan sebuah pengaruh proses Indianisasi
untuk menjelaskan sebuah bentuk kehidupan ideal dan sakral di alam nirwana,
diisi makna baru yang disepadankan dengan konsep jannah dalam Islam.
Pemberian
makna terhadap “istilah” agama di atas tentu tidak terlalu bermasalah. Hanya
perlu ditambahkan bahwa awalnya konsep agama sebenarnya menunjuk pada proses
pengajaran agama Budha.[8] Agama
memiliki makna dasar “tidak pergi” bisa dijelaskan pada perilaku para murid
yang hendak belajar agama mereka tidak akan meninggalkan sang guru (rshi) sampai pelajaran itu dapat diselesaikan.
Masalahnya selanjutnya adalah Harun Nasution menyamakan begitu saja konsep dari
berbagai istilah itu tanpa menjelaskan bahwa masing-masing term pada dasarnya
memiliki kekhususan sendiri, baik dari sisi makna awal, proses, maupun
pemberian makna baru. Bentuk kajian yang bersifat demikian tentu bisa
menyebabkan kesalahfahaman.
Sedangkan
kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab dyn, dalam pandangan Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, memiliki banyak penanda dasar yang secara konseptual saling
berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan semuanya menampilkan diri
sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. ‘Keseluruhan’ ini menggambarkan
bahwa apa yang dimaksud sebagai Agama Islām, telah terkandung di dalam dirinya
semua makna mungkin yang relevan dan inheren dalam konsep dīn. Penanda dīn, menurutnya,
dapat dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, (1) keberhutangan; (2) ketundukan;
(3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah.[9]
Lebih lanjut Al-Attas
mengatakan bahwa kata kerja dana yang
diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk berbagai makna lain yang
berhubungan dengan hutang. Diantara
makna yang terkandung dalam situasi ini adalah fakta bahwa seseorang yang
berhutang ada di bawah kewajiban,
atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara
alamiah melibatkan pengadilan: daynunnah, dan
kesaksian: idanah, sebagaimana kasus tersebut.
Semua penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dana hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat
terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang
ditunjuk dengan mudun atau mada’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim, pengatur, atau pengelola,
seorang dayyan. Jadi hanya dengan menghadirkan berbagai ragam
penggunaan kata kerja dana, bisa dilihat
hadir sebuah gambaran kehidupan yang beradab; lengkap dengan kehidupan sosial,
hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas.
Hal
tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata
kerja dan harus dikemangkan lagi. Maddana yang
berarti: membangun atau beradab, memperbaiki dan memanusiakan; darinya diturunkan
istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial.
Belum
lagi apabila derivasi makna itu dilanjutkan pada kata-kata lain yang berasal
dari akar kata yang sama. Dengan melakukan derivasi dari penanda dasar pada
kondisi berhutang penanda lain yang berhubungan, yang lain seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang
tuan), menjadi diperbudak; dan dari penanda seperti hakim, pengatur, pemerintah terdapat tanda yang
diturunkan makna yang menandakan menjadi perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan,
dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang dijanjikan).
Kini inti gagasan tentang hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan
sosial kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari
konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan
sebuah modus atau cara bertindak yang
konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan,
otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak,
atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini adalah sebuah
kondisi yang biasa atau terbiasa.
Dari sini, kemudian, kita dapat
lihat logika dibalik turunan dari penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter atau kecenderungan alamiah. Pada tahap ini semakin bertambah
jelas bahwa konsep dīn dalam
bentuk paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian yang benar akan
kecenderungan alamiah manusia untuk membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan
mencari pemerintah yang adil. Gagasan sebuah kerajaan atau negara, yang inheren
dalam konsep dīn yang muncul di hadapan
pandangan kita adalah yang paling penting dalam membantu mencapai pemahaman
yang lebih mendalam tentangnya.[10]
Penggunaan istilah
religi dengan menyepadankan maknanya dengan agama, sebenarnya juga bukan tanpa
masalah. Meski hal ini seperti telah menjadi kecenderungan umum namun, sekali
lagi, bahwa hakikat setiap kata mewakili suatu makna yang berasal dari suatu
cara pandang tertentu terhadap realitas hendaknya tidak diabaikan.
Religi
berasal dari kata Bahasa Latin religere, yang diadopsi
ke dalam Bahasa Inggris menjadi religion.
Kata religere bermakna mengumpulkan, membaca.
Hal ini Harun
Nasution memaknai ini bahwa agama merupakan kumpulan-kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam kitab
suci yang harus dibaca. Pendapat lain menyebutkan berasal dari kata religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama menurut Harun memang
bersifat mengikat manusia.[11]
Sebenarnya
maknanya awal religi menunjuk pada berbagai praktik dan kultus yang terjadi di
dalam dan di sekitar Roma, sebelum muncul Kristen. Ketika Roma menjadi Kristen,
religi Kristiani ditetapkan sebagai kepercayaan dominan dan semua kepercayaan
lain diserap atau dihapuskan. Namun kata religio pada
masa ini ternyata tidak diterapkan terhadap Kristen, karena sebagai
satu-satunya agama yang diakui sah, Kristen dikenal dengan nama “Gereja” (Church). Setelah era reformasi Gereja, kata religio
lantas diasosiasikan dengan kepercayaan Kristen dan cara hidup yang berada di
luar Gereja Katolik. Protestanisme dipertentangkan dengan kependetaan dan
karena itu dianggap sebagai religi kaum awam.
Pada
tahun sekitar 1593
Jean Bodin, filosof Perancis, menerbitkan karyanya Colloquium Heptaplomeres, yang mengemukakan pemahaman
mengenai religi, termasuk keyakinan-keyakinan non-Kristen. Pada abad ke-18,
“religion” mulai digunakan sebagai konsep ilmiah, merujuk pada sistem
kepercayaan selain Kristen. Meskipun “religion” berarti semua kepercayaan,
ketika ilmuwan Eropa menulis tentang religion secara kritis, yang mereka
maksudkan adalah Protestanisme (sebagaimana ungkapan Karl Mark tentang religion sebagai candu intelektual) atau religi
terlembaga (Katolikisme) sebagai lawan dari religi orang beriman (Protestan).[12]
Penggunaan istilah “religi”
pada masa kini tidak mampu mewadahi hakikat makna yang terkandung dalam
terminologi diin sebab pada saat yang
bersamaan “religi” juga mewujudkan adanya suatu asosiasi lengkap terhadap
Kekristenan mencakup semua doktrin, ritual, dan sejarahnya. Dalam
kaca mata Barat, istilah “religion” akan terhubung dengan suatu alam pandang yang membuat orang berfikir tentang inkuisisi,
tahayul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan,
kekasaran, pembakaran buku, eksekusi dukun, larangan-larangan, ketakutan,
pengakuan dosa, gila, dan sejumlah persepsi lainnya.[13] Pandangan
Barat terhadap hakikat agama hingga hari ini nampaknya belum sepenuhnya lepas
dari hal ini. Tanpa sadar sejarah Kristen selama bersentuhan dengan masyarakat
Barat terbawa dalam kancah pembentukan persepsi baru terhadap maknanya.
Dari
pembahasan di atas lantas muncul suatu pertanyaan yang merujuk pada
pengungkapan motif yaitu mengapa Harun Nasution berupaya mencampur adukkan
pengertian agama, din, dan religi pada saat bersamaan ? Dalam banyak kesempatan
bahkan ia menyetujui makna dan gagasan yang secara inheren terkandung dalam
masing-masing ungkapan. Untuk itu
pemaknaan konsep agama bisa dilihat dari konsep agama masing-masing. Secara
garis besar konsep agama merupakan konsep manusia terhadap ketuhanan dan sosial
untuk berjalan dengan baik. Konsep agama juga memberaikan kontrubusi yang
damai, karna agama lahir untuk menyelamatkan manusia dari perilaku tercela.
Tentunya konsep agama yang dimiliki setiap agama tidak lain merupakan pondasi
prinsip hidup manusia agar kokoh dalam kebaikan, seperti tuntunan maupun
ajaran-ajaran agama yang mengarahkan manusia dengan baik.
Peta Konsep Agama
C.
Unsur-unsur Agama
Dengan pemahaman yang terbentuk dari berbagai istilah terkait “agama” diatas,
Harun Nasution lantas menunjukkan bahwa setiap agama memiliki unsur-unsur yang
sama dan identik. Unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama itu antara lain
adalah sebagai berikut:[14]
1.
Kekuatan gaib: manusia merasa dirinya
lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh
karena itu manusia harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib
tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan
kekuatan gaib itu.
2.
Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya
di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik
dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu,
kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
3.
Respons yang bersifat emosional dari
manusia. Respon itu biasa mengambil bentuk perasaan takut, seperti yang
terdapat dalam agama-agama primitive, atau perasaan cinta, seperti yang
etrdapat dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respons mengambil bentuk
penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitive, atau pemujaan yang
terdapat adalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu juga
mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
4. Paham
adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk
kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan dan dalam bentuk
tempat-tempat tertentu.
Terkait
unsur pertama yang ada dalam agama, yakni kekuatan gaib, Prof. Rasjidi
mengkritik bahwa dalam Islam seorang mukmin tidak hanya percaya kepada kekuatan
gaib tetapi pada alam gaib yang tidak terjangkau oleh panca indra. Lebih dari
itu Allah dalam Islam, bukan sekedar sebuah kekuatan. Ia merupakan oknum atau
zat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang menunjukkan superioritasnya.[15] Dengan
demikian Allah bukan sekedar sebuah kekuatan melainkan pemilik kekuatan itu
sendiri.
Pada bagian kedua, Harun berupaya menekankan bahwa kesejahteraan manusia
tergantung pada adanya hunungan dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Menurut Rasjidi,
ungkapan ini memberi kesan bahwa kekuatan gaib yang bersangkutan bersifat
autoritatif, sebab menghajatkan agar manusia menyesuaikan diri untuk menghadapi
kekuatan gaib yang bersangkutan. Hal ini merupakan gambaran umum yang biasa
disampaikan oleh kesarjanaan Barat dalam memandang fenomena yang disebut agama.
Selanjutnya agama dianggap sebagai genus yang memiliki spesies-spesies yang
bermacam-macam.
Sedangkan tentang respon emosional manusia, Harun justru menunjukkan bahwa
dirinya terpengaruh dengan gaya berfikir agama Masehi. Kristianitas menganggap
bahwa agamanya merupakan ajaran monoteis namun pada saat yang sama justru
mengakui adanya tiga oknum tuhan yang dimanifestasikan melalui konsep trinitas.
Dalam kekristenan cinta merupakan suatu kata kunci. Manusia cinta Tuhan dan
Tuhan cinta manusia, bahkan Tuhan adalah cinta. Hal yang terakhir ini tentu
saja merupakan hasil pergulatan teologis yang tumbuh dalam aliran sejarah.
Islam dalam pandangan Rasjidi, justru menunjukkan bahwa sikap manusia terhadap
Allah bukan sekedar cinta melainkan juga takut yang diwujudkan dalam penggunaan
kata khasyah dan khauf. Jadi sikap
takut bukan hanya terdapat dalam agama primitif saja tetapi jelas bisa
ditemukan dalam Islam. Meski demikian konsep takut dalam Islam jauh lebih
tinggi dan lebih halus dari takut dalam agama primitif.
D.
Pendekatan Studi Agama
Dalam
melakukan studi agama-agama dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang akan
memudahkan kita untuk mengkaji masalah ini, diantaranya:[16]
1.
Pendekatan
Teologis Normatif, pendekatan
ini dalam arti harfiah dapt diartikan sebagai upaya memahami agamadengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keagamaan dianggap
sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
2.
Pendekatan
Antropologis, yaitu sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat’
3.
Pendekatan
Sosiologis, yaitu suatu ilmu
yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan
dengan berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini
suatu fenomena sosial dapat dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong
terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari
terjadinya proses tersebut.
4.
Pendekatan
Filosofis, berfikir secra
filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar
hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami
secara seksama.
5.
Pendekatan
Historis, sejarah atau
historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur temppat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dan dapat dilacak dengan
melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya dan siapa yang
terlibat dalam peristiwa tersebut.
6.
Pendekatan
Kebudayaan, yaitu hasil
daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang
dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan,
seni, moral, adat istiadat, dan sebagainya. Kebudayaan yang demikian dapat pula
digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknyaatau agama
yang tampildalam bentuk formal yang menggejala dalam masyarakat.
7.
Pendekatan
Psikologi, ilmu jiwa
adalah ilmu yang mempelajarijiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat
diamatinya. Dengan ilmu jiwa ini selain seseorang dapat mengetahui tingkat
keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan
sebagai alat memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan
usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk
menanamkannya.
E.
Metodologi Studi Agama Menurut Para Ahli
Mengkaji
fenomena keagamaan, berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan
beragama. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah perwujudan sikap dan perilaku
manusia menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat yang beraalasan dari
suatu kegaiban. Di lain pihak, kita dihadapkan berbagai metode dalam mengkaji
agama-agama.
Adapun pendapat dari beberapa para ahli/pakar adalah
sebagai berikut:
1.
Metodologi
Jalaludin Rakhmat[17]
Agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai
dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian
agama itu penelitian sosial, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.
Pernah Mukti Ali bertanya ‘’,,,,apakah penelitian agama akan meminjam
hasil-hasil pengamatan dan penelitian ilmu-ilmu sosial itu? Ataukah penelitian
agama seharusnya mempunyai alat-alatnya sendiri untuk menghadapi dan meneliti
situasi konkrit itu?”. Kita menjawabnya dengan menyatakan bahwa pertanyaan itu
tidak relevan. Penelitian agama disebut penelitian agama, bukan karena
metodenya, tetapi karena bidang kajiannya. Karena itu, uraian ini pertama-tama
membahas bidang kajian agama, dengan menunjukkan karakteristik distinktifnya.
Selanjutnya kita akan membicarakan peta penelitian agama untuk Indonesia dengan
menggunakan tiga paradigma epistemologis: ilmiah, akliah dan irfaniah.
Tabel: Bidang Kajian Penelitian Agama
Bidang Kajian
|
Ajaran
|
Dimensi Keagamaan
|
||||
Paradigma
|
Ideologis
|
Intelektual
|
Eksperiensial
|
Ritualistik
|
Konsekuensial
|
|
Ilmiah
Akliah
Irfaniah
|
X
X
X
|
X
X
X
|
X
X
X
|
X
X
X
|
X
X
X
|
X
X
X
|
Dengan
menggunakan tabel diatas, kita memiliki tidak kurang dari 18 jenis penelitian
agama. Untuk setiap paradigma, untuk 6 jenis penelitian agama. Contoh, dengan
paradigma ilmiah, kita dapat meneliti apakah al-Qur’an lebih menitik beratkan
aspek sosial dari pada aspek teologis, ataukah naskah shahih Bukhari yang ada
sekarang ini otentik; atau apakah tema utama yang terdapat pada kitab-kitab
kuning yang ada di pesantren di Indonesia. Dengan paradigma akliah, kita dapat
mengkaji perspektif al-Qur’an tentang sejarah umat manusia; ataukah terdapat
konsistensi logis dalam beberapa teks hadits tentang sifatAllah; atau
bagaimana pola penafsiran Al-Ghozali tentang manusia. Dengan paradigma
irfaniah, kita dapat mengkaji aspek esoteris dari makna ayat-ayat al-Qur’an
atau al-Hadits.
2.
Metodologi
Abdullah Fadjar[18]
Penelitian
kuantitatif arah baru penelitian agama. Topik ini di maksudkan sebagai bagian
dari pokok bahasan kesatu dalam satuan seminar, yakni metodologi penelitian
agama dan kaitannya dengan lmu-ilmu sosial: suatu analisis komperatif. salah
satu bagian yang terangkum di dalamnya ialah kecenderungan kuantifikasi dalam
ilmu sosial dan kemungkinan penerapannya di dalam ilmu keagamaan. kecendrungan
ilmu sosial dalam kuantifakasi ternyata memperoleh sambutan hangat dalam
kajian–kajian keagamaan. Bahkan, dengan agama membukakan pintu dan jendela bagi
pendekatan kuantitatif terentang satu arah baru dalam kegiatan penelitian
agama. Sejak mula kejadian manusia sudah menghadirkan baku bantah. bahkan baku
bantah itu antara tuhan pencipta dan iblis. karena itu tidak mengherankan kita
jika hasil budidaya manusia sendiri dinamakan ilmu pengetahuan menimbulkan baku
bantah: tentulah hal ini terjadi di antara manusia sekurang-kurangnya yang
sama-sama menggeluti ilmu pengetahuan.
Pendekatan
kuantitatif dan pendekatan kualitatif memang berbeda dalam menangani ilmu
pengetahuan sosial, budaya dan agama. Metodolagi penelitian kuantititif berbeda
dengan penelitian kualitatif, baik dalam pandangan dasar keilmuannya ataupun
dalam teknik-teknik yang di gunakan. Bahkan oleh masing-masing pendukung dan
simpatisannya dua pendekatan tadi dipertentangkan.
Diatas
telah disebut bahwa terhadap perbedaan-perbedaan itu para pendukung dan
simpatisan masing-masing pendekatan saling bertentangan. Masing-masing
menyatakan metodenya secara inheren lebih superior dari yang lain.
Peneliti-peneliti kualitatif memandang penelitian kuantitatif kurang
validitasnya, sememtara peneliti kuantitatif mengkritik peneliti kualitatif
tidak representatif, impressionistik, tidak reliabel dan subyektif.
3.
Metodologi
Abuddin Nata.[19]
Seseorang
yang akan menyusun kontruksi teori penelitian terlebih dahulu perlu mengetahui
bentuk dari macam-macam penelitian, karena perbedaan bentuk atau macam
penelitian yang dilakukan akan mempengaruhi bentuk kontruksi teori penelitian
yang dilakukan, termasuk pula penelitian agama.
Penelitian
dapat mengambil bentuk bermacam-macam tergantung dari sudut pandang mana yang
akan digunakan untuk melihatnya. Dilihat dari segi hasil yang ingin dicapainya,
penelitian dapat dibagi menjadi penelitian menjelajah (exploratory atau
deskritif) dan penelitian yang bersifat menerangkan (explanatory). Dalam
penelitian yang bersifat menjelajah, dimana pengetahuan mengenai persoalan
masih sangat kurang dan belum ada sama sekali, maka teori-teorinya belum ada
atau belum diperlukan. Demikian pula dengan penelitiaan yang bersifat
deskriptif. Sedangkan penelitian yang bersifat menerangkan dimana sudah pasti
ada teori-teori yang menjadi dasar hipotesa-hipotesa yang akan diuji, jelas
memerlukan teori.
Selanjutnya
jika dilihat dari bahan-bahan atau obyek yang akan diteliti, maka penelitian
dapat dibagi menjadi penelitian kepustakaan (library research) dengan
menggunakan bahan-bahan tertulis seperti manuskrip, buku, majalah, surat kabar
dan dokumen lainnya. Dan penelitian lapangan (field research) dengan
menggunakan informasi yang diperoleh dari sasaran penelitian yang selanjutnya
disebut informan atau responden melalui instrumen pengumpulan data seperti
angket, wawancara, observasi dan sebagainya.
Jika
dilihat dari segi menganalisanya, maka penelitian dapat dibagi menjadi penelitian
yang bersifat kualitatif dan bersifat kuantitatif. Penelitian kualitatif
dilakukan terhadap obyek penelitian yang bersifat sosiologis, sedangkan
penelitian kuantitatif dilakukan terhadap obyek penelitian yang bersifat fisik,
material dan dapat dihitung jumlahnya. Sikap keagamaan, kecerdasan, pengaruh
kebudayaan dan lain sebagainya termasuk obyek penelitian yang bersifat
kualitatif. Sedangkan penelitian yang ingin mengetahui jumlah kelulusan, jumlah
yang melanggar peraturan dan sebagainya dapat dilakukan penelitian yang
bersifat kuantitatif. Jika dilaihat dari metode dasar dan rancangan penelitian
yang digunakan, maka penelitian dapat dibagi menjadi penelitian yang bersifat
historis, perkembangan, kasus, korelasional, kausal-komparatif, eksperimen sungguhan,
eksperimen semu dan penelitian tindakan (action research).
Selanjutnya
Masri Singarimbun bertolak dari segi metode dan rancangan yang digunakan,
membagi penelitian menjadi penelitian survei, penelitian eksperimen dan
grounded reserch.
4.
Metodologi
Studi Agama Islam.[20]
Ali
Syari’ati mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara ialah
dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain.
Cara lainnya adalah dengan mempelajari kitab al-Qur’an dan membandingkannya
dengan kitab-kitab samawi lainnya. Tetapi ada cara lain lagi, yaitu dengan
mempelajari kepribadian Rosul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh
besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Dan satu cara lagi yaitu dengan
mempelajari tokoh-tokoh islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh
utama agama maupun pemikiran aliran-aliran lain. Seluruh cara ini pada intinya
adalah metode perbandingan (komparasi). Dapat dimaklumi bahwa melalui
perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekurangan diantara berbagai yang
dibandingkan itu. Namun sebagaimana diketahui secara akademis suatu
perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan memerlukan
obyektifitas, tidak ada pemihakan, blank mind, tidak ada pra konsepsi dan
semacamnya. Hal ini biasanya sulit dilakukan seseorang yang meyakini kebenaran
suatu agama yang dianutnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama
kelihatannya baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang baru mau
beragama.
Selain
menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syatiri juga menawarkan cara memahami
Islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini ia mengatakan bahwa tugas
intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran
pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan ataupun
masyarakat, dan sebagai intelektual dia memikul amanah dari masa depan umat
manusia yang lebih baik.
Selanjutnya
terdapat pula metode memahami Islam yang dikemukakan Nasruddin Razak
Sebagaimana yang sebelumnya, Nasruddin Razak menawarkan metode pemahaman Islam
secara menyeluruh. Menurutnya bahwa memahami Islam secara menyeluruh adalah
penting walupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk
memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap
dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lainnya. Cara tersebut
juga ditempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang dapat menimbulkan
sikap dan pola beragama yang salah pula. Untuk memahami islam secara benar ini,
ia mengajukan empat cara: Pertama, Islam harus dipelajari dari
sumbernya yang asli yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Kekeliruan memahami Islam,
karena orang hanya mengenalnyadari sebagian ulama’ dan pemeluknya yang telah
jauh daribimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kedua, Islam harus
dipelajari secara integral, tidak dengan caara parsial, artinya ia dipelajari
secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat yang tidak secara sebagian
saja. Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis
oleh para ulama’ besar, kaum zuama dan sarjana-sarjana Islam. Karena pada
umumnya mereka memiliki pemahaman yang lebih baik. Keempat, Islam
hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam al-Qur’an
, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, sosiologis yang
ada di masyarakat.
5.
Metodologi
Studi Agama Nasrani
Agama
Nasrani sering juga disebut dengan agama Kristen atau agama Masehi. Ketiga
sebutan tersebut mempunyai riwayat masing-masing. Kata nasrani dikaitkan dengan
nama sebuah kota disebelah utara Palestina, Nazareth. Dari kota ini yesus
berasal dan dibesarkan sehingga pengikut ajarannya disebut Nasrani. Kata
Kristen berasal dari kata Kristus, gelar kehormatan keagamaan Yesus yang
berasal dari Nazareth tadi. Kristus adalah bahasa Yunani (Kristos) yang
berarti diurapi. Kata ini sangat populer di dunia barat yaitu
dengan sebutan Cristianity, yang juga berlaku di Indonesia
dengan Kristen (bukan Nasrani atau Masehi). Kata Masehi ada hubungannya
dengan Messies bahasa ibrani yang artinya sama dengan Kristus
yang (yang diurapi) sebutan ini pulalah yang tercantum dalam beberapa ayat suci
al-Qur’an, dengan kata; al-Masih Isa bin Maryam. Sedangkan penganut agama ini
oleh al-Qur’an disebut dengan al-Nasara. Yang dimaksud dengan agama Nasrani,
Kristen atau Masehi adalah semua ajaran dan golongan yang didasarkan atas
ajaran-ajaran Yesus Kristus. Atau agama yang bersifat etik, sejarah, Universal,
Monotheis, ddan penebusan. Dimana hubungan antara Tuhan dan manusia terjadi
dengan perantara dan pekerjaan Yesus Kristus. Yaitu agama yang mencvakup lebih
dari lima ratus sekte atau aliran dengan gerejanya masing-masiang. Adapaun
sekte yang terbesar adalah; Katholik Roma, Katholik Ortodoks, Anglikan,
Protestan dan beberapa sekte kecil lain.[21]
Walaupun
paulus bukanlah salah seorang murid Yesus yang berjumlah 12 orangtetapi ia
mengaku bahwa dialah yang menjadi pengikut Yesus yang paling setia. Malah ada
kecenderungan yang menunjukkan bahwa kedudukan Paulus lebih dimulyakan daripada
keduabelas murid yesus, atau ada tuduhan bahwa sebenarnya agama Nasrani
sekarang ini adalah ajaran Paulus. Karena kenyataan tersebutb dikemukakan
bersama-sama.[22]
Paulus
merupakan tokoh penting dalam agama Kristen disamping Yesus. Karena sepeninggal
Yesus, Pauluslah yang sangat berperan dalam membentuk ajaran agama Kristen.
Padahal Paulus ini banyak sekali yang menyimpang dari ajaran Yesus. Sehingga
terjadinya perubahan ajaran Nasrani daria ajaran yang asli yang diajarkan nabi
Isa (Yesus) terjadi semenjak peranan Paulus ini cukup besar.[23]
Tentang
kedudukan Paulus yang sekarang ini hampir sederajat dengan kedudukan Yesus,
terbukti dengan ke-14 suratnya yang semua termuat dalam Perjanjian Baru.
Sehingga isi Kisah Rasul-Rasul seolah-olah hanya menceritakan kisah Paulus
saja. Walaupun dia sebenarnya justru bukan Rasul atau murid Yesus dan malam
belum pernah berjumpa dengan Yesus. Kenytaan inilah yang menimbulkan pendapat
bahwa sebenarnya yang disebut agama Nasrani itu tidak lain adalah ajaran
Paulus.[24]
Para
Ulama Barat sendiri telah menyimpulkan adanya tujuh macam ajaran paulus yang
menyalahi ajaran Yesus, tetapi dipegang teguh dalam ajaran Nasrani. Ketujuh
ajaran Paulus tersebut adalah:[25]
1.
Nabi
Isa selalu mementingkan dalam khotbah-khotbahnya tentang akan datangnya
kerajaan Allah; sedangkan pada ajaran Paulus dititikberatkan kedatangan kembali
dari Isa itu sendiri sehingga timbul adanya ajaran Messianisme, akan datangnya
Messiah.
2.
Nabi
Isa tidak pernah membicarakan tentang adanya dosa warisan sedangkan paulus
telah mengajarkan adanya dosa warisan.
3.
Nabi
Isa mengajarkan tentang pengampunan dari tuhan atas penyesalan dan tobat
sungguh-sungguh dari hambanya pada perkataan dan perbuatan manusia dan atas
dasar sifat pengampunan-Nya Tuhan itu sendiri, sedangkan Paulus menyatakan
pengampunan Tuhan pada penyaliban Yesus.
4.
Nabi
Isa tetap mengakui hukum Taurat berlaku bagi pengikutnya, sedangkan Paulus
telah menggantikan Hukum Taurat dengan Iman kepada penyaliban Yesus untuk
menebus dosa manusia.
5.
Syariat
Taurat tidak berlaku lagi dengan mengajarkan Injil dalam lingkungan Yahudi
saja, sedangkan pada Paulus Injil diajarkan pula pada orang-orang Yahudi.
6.
Nabi
Isa mewajibkan kepada pengikutnya meneruskan Hukum Ibrahim tentang
bersunat atau khitan, sedangkan Paulus tidak mewajibkan lagi.
7.
Nabi
Isa menyangkal dan menolak kalau dirinya dipertuhankan disamping Tuhan YME,
sedangkan Paulus mengangkat Isa sebagai Tuhan, dan menganggap dirinya sebagai penjelmaan
dari Kristus.
Dasar
ajaran Nasrani disebut Kristosentrisme artinya ajaran yang berpusatkan kepada
diri Yesus Kristus terhadap diri Yesus, didatangkan sebuah pengakuan Imam yang
khusus, yaitu Yesus sebagai sepenuhnya Tuhan dan Yesus sebagai sepenuhnya
Manusia. Pengakuan Imam inilah yang melahirkan beberapa kali pertemuan konsili
atau kongres yang diikuti terhadap agama Nasrani, untuk membicarakan bagaimana
setatus Yesus yang sebenaranya. Yesus yang merupakan satu dari tritunggal Tuhan
sebetulnya memang menimbulkan satu kesulitan dalam kepercayaan Nasrani, tetapi
mereka berusaha menjelaskan sampai muncul jawaban bahwa soal tersebut adalah
soal tekad (iman) bukan soal pengertian.[26]
6.
Metodologi
Studi Agama Yahudi
Setidaknya
terdapat tiga istilah yang sering digunakan untuk penyebutan terhadap umat
Yahudi, yaitu; Yahudi, Ibrani dan Israel. Adapun perkataan atau istilah Yahudi
itu senderi berasal dari bahasa Arab yang berarti bertaubat atau orang yang
bertaubat. Kata Yahudi merupakan satu nama yang lazim dikaitkan dengan putra
keempat nabi Ya’kub bernama Yahuda. Sedangkan dalam al-Qur’an disebut bani
Israel yang berarti keturunan Israel sebuah gelar bagi nabi Ya’kub yang berarti
‘’Pejuang untuk Tuhan’’ atau yang taat dan berbakti pada Allah. Kata
diatas juga dapat dikaitkan dengan perkataan nabi Musayang pernah
diucapkannya; inna hudna ilaika, artinya kurang lebih; kami
tunduk dan kembali taubat. Istilah Ibrani berasal dari kata abara yang
berarti menyebrang. Dinamakan Ibrani, karena mereka datang dengan menyebrangi
sungai Eufrat dibawah pimpinan Ibrahim as.
Sebutan
Israel dipakai juga karena dinisbatkan dengan nenek moyang mereka yaitu Ya’kub
yang juga bernama Isra’il. Oleh karena itu, mereka dikenal dengan sebutan bani
Israil, anak turunnya Israil (Ya’kub). Adapun yang paling populer diantara
ketiga istilah diatas adalah Yahudi atau Yudaisme. Dalam sejarah dijelaskan
bahwa nabi Ya’kub mempunyai duabelas orang, yaitu; Rubin, Simeon, Lewi, Yahuda,
Zebulon, Isakhar, Dan, Gad, Asyer, Natali, Yusuf dan Benyamin.[27]
Ada
beberapa kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama Yahudi, seperti Torah
(Taurat), Talmud, Septuaginta dan Pentateuch. Tetapi intinya adalah kitab
Taurat atau Perjanjian Lama. Inti ajaran Yahudi terkenal dengan sebutan
‘’Sepuluh Firman Tuhan’’ atau Ten Commandments atau Decalogue, (Grik, deca=10,
Logue= Risalah). Kesepuluh firman Tuhan tersebut diterima oleh nabi Musa di
bukit Sinai (Tur Sina), ketika terjadi dialog langsung antara Tuhan dengan
Musa. Firman Tuhan tersebut Oleh Musa lansung ditulis di atas sobekan
kulit-kulit hewan atau batu. Demikianlah menurut Louis Finkestein, editor buku
The Jews, Their Religion and Culture. Adapun sepuluh firma Tuhan tersebut
adalah:[28]
a)
Dilarang
menyembah selain Allah.
b)
Dilarang
menyembah berhala.
c)
Dilarang
menyebut nama Allah dengan main-main.
d)
Wajib
memuliakan hari sabtu
e)
Wajib
memuliakan ayah dan ibu.
f)
Dilarang
membunuh sesama manusia.
g)
Dilarang
berzina.
h)
Dilarang
mencuri.
i)
Dilarang
bersaksi palsu.
j)
Dilarang
mengingini istri dan hak orang lain.
Sepuluh
firman tersebut ternyata mengandung aspek-aspek aqidah, ibadah, syari’ah, hukum
dan etika. Agama Yahudi percaya dengan adanya Tuhan yang Maha Esa, tetapi tuhan
yang khusus hanya untuk bani Israil, bukan Tuhan untuk bangsa lain. Mereka tidak
pernah menyebut nama Tuhannya dengan langsung karena mungkin akan mengurangi
kesucian-Nya. Oleh karena itu Israil melambangkan-Nya dengan huruf mati YHWH,
tanpa bunyi. Lambang ini bisa dibaca YaHWeH atau Ye-Ho-We atau YeHoVah.[29]
Agama
Yahudi bukan agama Missionari ataupun Dakwah. Umat Yahudi tidak ingin dan tidak
memerlukan orang non-Israel menjadi Yahudi. Itu adalah ajaran Yahudi. Tetapi,
mereka merasa puas bilamana politik mereka diterima oleh orang lain, suka atau
tidak suka; uang mereka ada di bank-bank di seluruh dunia dipinjam dan
dijalankan oleh bangsa non-Yahudi dengan bunga sebagaimana mereka harapkan
sehingga mereka mendapatkan keuntungan seperti yang mereka harapkan.[30]
Untuk
Penelitian keagamaan yang sasarannya adalah Agama sebagai gejala sosial, tidak
perlulah membuat metodologi penelitian tersendiri. Penelitian ini cukup
meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada. Memang kemungkinan
lahirnya suatu ilmu tidak pernah tertutup, tetapi tujuan peniadaannya adalah
agar sesuatu ilmu jangan dibuat secara artifisial karena semangat yang
berlebihan.
F.
Penelitian Agama
Dalam
pandangan Juhaya S Praja, penelitian Agama adalah penelitian tentang asal-usul
Agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran Agama tersebut terhadap
ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas juhaya, terdapat dua
bidang penelitian Agama, yaitu sebagai berikut:
a.
Penelitian
tentang sumber ajaran Agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu
hadist.
b.
Pemikiran
dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran Agama itu.
Sedangkan penelitian tentang hidup keagamaan adalah
penelitian tentang praktik-praktik ajaran Agama yang dilakukan oleh manusia
secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup
keagamaan meliputi hal-hal berikut:
1.
Perilaku
individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas Agama yang
dianutnya.
2.
Perilaku
masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang
lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu Agama.
3.
Ajaran
Agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat
beragama.
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penelitian
keagamaan dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Penelitian Eksploratif
b) Penelitian Deskriptif
c) Penelitian Historis
d) Penelitian korelasional
e) Penelitian Eksperimen
Adapun model penelitian yang ditampilkan di sini
disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian Agama dan penelitian keagamaan.
Akan tetapi, disini dikutip karya Djamari mengenai metode sosiologi dalam
kajian Agama, yang secara tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian
Agama melalui pendekatan sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung,
menjelaskan bahwa kajian sosiologi Agama menggunakan metode ilmiah. Yaitu:
1)
Analisis
sejarah
2)
Analisis
lintas budaya
3)
Ekspeimen
4)
Observasi
partisipatif
5)
Riset
survey dan analisis statistik
6)
Analisis
isi
BAB
III
ANALISIS
Makna dalam penafsiran agama merupakan sisi dari
sudut pandang orang yang memberikan pemaknaan, Al Quran banyak fersi pemaknaan
maupun penafsiran akan tetapi dalam kajian lingustik bahasa yang berbeda namun
lafad Al Quran tetap sama dengan Quran lianya. Perbedaanya terletak pada
pemaknaan, karna itu Max Weber menjelaskan makna atau disebut pemaknaan
merupakan doktrinitas. Mampu memberikan penekanan dalam kepentingan sekelompok
agama yang fanatik dengan lainya. Kepentingan inilah yang harus disikapi, seperti
yang kita jumpai dalam kasus Ahok ditudu penistaan agama dalam memahami
pemaknaan lafad Quran. Tentunya dalam dunia politik ada kepentingan tersendiri
yang harus dilibatkan atau bisa juga ada pihak ketiga yang sengaja
mengkonflikan antara dua sisi. Bagi orang awam tentu merasa tidak nyaman dengan
keadaan yang memanas wacana tersebut. Perlu ada kebijakan dalam memahami
pemaknaan dari sudut toleran, pluralis, dan nasoinalis. Seperti tokoh
pembahruan Islam ialah Hassan Hanafi pelopor pembahruan Islam yang sangat
penting, beliau melibatkan kebudayaan Islam untuk bersifat nasionalis. Dalam
bukunya Hassan Hanafi juga membahas linguistik bahasa dalam penjelasanya ialah
pemaknaan atau penafsiran harus dengan bahasa membumi untuk bisa memahami semua
orang, bahasa yang digunakan bersifat fenomena keadaan, bukan bahasa ketuhanan
yang sulit diterima oleh orang awam.
Konsep agama merupakan
ajaran-ajaran yang harus dituntun oleh setiap manusia agar manusia mempunyai
tujuan sesudah di dunia. Ajaran-ajaran agama perlu tertanam dalam jiwa atau
hati, hal ini untuk membatasi manusia berbuat. Lalu bagaimana jika seseorang tidak
beragama apakah dituntut untuk beragama? Seperti orang ateis. Hal ini bukan
menjadi kebijakan agama, karna agama mempunyai tugas yang sifatnya tidak memaksa.
Manusia selagi tidak mengganggu hak orang lain tentu tidak bermasalah. Negara
bermonopoli dalam kehidupan manusia untuk mensejahterakan manusia. Antara agama
dan negara memang jauh berbeda dalam membatasi manusia untuk berbuat tapi agama
dan negara saling bersentuhan. Artinya mereka saling membutuhkan satu sama
lain. Untuk itu konsep agama berbijak pada ajaran-ajaran bukan hukum negara.
Dalam konsep agama perlu
melihat dari paradigmanya, tentu ada pendekatan-pendekatan yang mempengaruhi
agama. Jika seseorang beragama Kristen atau Islam maka pendekatan mereka di
wilayah tertentu, tentu konsep agamanya pun berbeda. Ketika membicarakan
tentang ketuhanan tentu sangat berbeda. Namun konsep agama tidak lain hanyalah
sebuah tuntunan ajaran yang diterapkan manusia.
Sebenarnya konsep agama
diciptakan oleh Tuhan ataukah manusia? Hal ini tentu pertanyaan yang mendalam
untuk digali. Karna semakin perkembangan zaman semakin konsep agama menggeser
alasannya untuk memapankan manusia. Seperti kajian Islam dalam ushul fiqih yang
menggali hukum-hukum syariat Islam yang berkembang dari zaman kenabian sampai
sekarang. Aspek ini bukan hal yang baru, tentu agama lainya mengalami
penggeseran. Bersamaan modernitas berkembang agama juga harus berkembang, hal
ini apakah agama yang mengikuti perkembangan manusia atau manusia mengikuti
agama? Tentu agama yang memberikan pondasi terhadap manusia.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Agama adalah keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan
yang meyakinikonsep spiritual.
2.
Konsep
agama merupakan ajaran dari Tuhan lewat wahyu untuk manusia agar berbuat baik
sesuai ajaranya.
3.
Unsur-unsur
agama ialah sesuatu yang mendukung dari subtansi agama itu sendiri seperti
kitab, keyakinan atau kepercayaan.
4.
Ada
beberapa pendekatan agama antara lain:
a.
Pendekatan
sosiologis
b.
Pendekatan
filosofis
c.
Pendekatan
antropologis
d.
Pendekatan
teologis
e.
Pendekatan
historis
5.
Metodologi
studi agama menurut para ahli sangat berfariasi dalam metodenya. Ini artinya
bahwa metodologi dapat dikembangkan sesuai kebutuhanya. Ada beberapa tokoh yang
mengembangkan metodologi studi agama seperti, Jalaluddin Rahmat, Abdullah
Fajar, Abuddin Nata. Atau bisa dari segi keagamaan seperti Islam, Nasrani,
Katolik, Hindu.
6.
Penelitian
agama ada dua kajian ialah ajaran agama, dan pemikiran. Hal ini memang perlu
adanya penelitian agar hasilnya benar-benar real sesuai yang diharapkan.
B.
Saran-saran
Dari kesempatas pembahasan diatas, dapat disarankan
hal-hal sebagai berikut:
1.
Untuk
makna sebaiknya memahami ilmu linguistik terhadap tekstual untuk memahami
konteksual.
2.
Untuk
konsep agama tidak lain hanyalah ajaran agama masing-masing, bukan hanya ajran
yang digali namun tanamkan nilai nasionalisme untuk beragam agama, tanamkan nilai
toleran untuk beragam agama.
3.
Untuk
tujuan agama bukan hanya menuntun manusia hidup dengan baik di dunia dan
akherat, akan tetapi tujuan agama mampu mensejahterakan manusia dalam
kehidupanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulllah, Taufik dan Karim, M.Rusli. Metodologi
Penelitian Agama. Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1989.
Arifin, Syamsul. Studi Agama; Perspektif
Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer. Malang: UMM Press. 2009.
Assegaf, Abd. Rachman. Studi Islam Kontekstual;
Elaborasi Paradigma Barun Muslim Kaffah. Yogyakarta: Gama Media. 2005.
Farid, Alatas Syed. Diskursus Alternatif Dalam Ilmu
Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme. Bandung: Mizan Publika, 2010.
Faridi. Manusia dan Agama. Malang: UMM Press.
2001.
Fatimah, Abdullah. Konsep Islam Sebagai Din Kajian
Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN Al-Attas, dalam Jurnal
Islamia No. 3 September-November 2004.
Hastings, James. Encyclopædia of Religion and
Ethics, Vol. VI Fiction-Hyksos, Edinburg: T. & T.
Clark, 1914.
Manaf, Mudjahid Abdul. Sejarah Agama-Agama.
Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cet-II, 1996.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya. (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 2003.
Nurhakim, Moh. Metodologi Studi Islam.
Malang: UMM Press. 2004.
Rasjidi. Koreksi Terhadap Harun Nasution Tentang Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya.
Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Syed
Muhammad Naquib Al-Attas. Prolegomena
to the Metaphysics of Islam: Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam.
Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Gitamedia Press. 2006.
Weber, Max. The
Sociology of Religion, Penerjemah Yudi Santoso. Sosiologi Agama. Jogjakarta: IRCiSoD, 2012.
[1]Max
Weber, The Sociology of Religion,
Penerjemah Yudi Santoso, Sosiologi Agama,
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 58.
[2]Samsul Arifin, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu
Kontemporer. (Malang:
UMM Press,
2009), 6.
[8]James
Hastings, Encyclopædia of Religion and Ethics,
Vol. 1 A-Art, (Edinburg:
T. &T. Clark, 1908), 165.
[9]Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: Exposition
of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995), 41-42.
[12]Syed Farid
Alatas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap
Eurosentrisme, (Bandung: Mizan
Publika, 2010),
196-197.
[13]Fatimah
Abdullah, Konsep Islam Sebagai Din Kajian Terhadap
Pemikiran Prof. Dr. SMN Al-Attas, dalam Jurnal Islamia No. 3 September-November
2004, 49.
[15]Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang “Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya”, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977),
12.
[17]Taufiq Abdillah, Metodologi Penelitian
Agama; Sebuah Pengantar, ( Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1989), 91
[30]Abddul Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi
Paradigma Barun Muslim Kaffah,
(Yogyakarta:
Gama Media, 2005), 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar