Selasa, 16 Mei 2017

Islam kolektif

Kuntowijoyo mengatakn, banyk orng, bahkn pemeluk Islam sendiri, tdk sadar bahwa Islam bukn hanya agama, tetapi juga sebuah komunitas tersendiri yg mempunyai pemahaman, kepentingan, dan mempunyai tujuan politik sendiri.
Byk orng beragama Islam tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalo Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama.

Paradigma dunia Barat terhadap Islam

Paradigma dunia Barat terhadap Islam
Oleh: Hasan Khariri, Tulungagung 21 Februari 2017
Islam adalah agama rahmatan lil’alamin cinta terhadap perdamaian, memahami sesame dan sangat toleran. Namun, begitu tragis semenjak konflik dunia Barat dan Islam memuncak, pandangan negatif tentang Islam mulai berkembang, Islam memulai mengembamngkan intelektual dari tokoh-tokoh berbagai pembahruan. Saat itu serangkaian tuduhan dan celaan tentang Islam tidak henti-hentinya melesat seiring aksi pengeboman dan aksi teror yang dituduhkan kepada masyarakat muslim, didunia akademik mampu menerobos dindingnya kelemahan orientalis Barat. Padahal, kekacauan yang terjadi bukan dimulai dari orang muslim. Melihat kebangkitan Islam dari kebudayaan, intelektual, social, maupun kultur mulai menewasakan.
berikut ini adalah tuduhan dan celaan di bidang anarkis bahwa Islam adalah agama teroris semakin berkembang, saat terjadi tragedi WTC pada tanggal 11 September 2001 yang cukup banyak menewaskan warga Amerika pada umumnya. Tragedi itu banyak memberi dampak negatif terhadap Islam, karena bangsa Barat menuduh kelompok Al-Qaeda yang melakukan aksi teror tersebut. Padahal tidak ada bukti nyata yang mendasari bahwa Islamlah yang melakukan pengeboman di WTC. Sampai saat ini, kasus dan misteri tragedi pengeboman WTC belum terungkap, namun segala kecaman terhadap Islam masih dilakukan di Negara Barat. Akibatnya, seluruh dunia mempercayai kalau Islam lah yang paling bertanggung jawab atas pengeboman di WTC dan Pentagon, di dunia pembahruan banyak kemunculan para tokoh cendikiawan Muslim yang sangat besar pengaruhnya terhadap kebudayaan Islam di dunia, seperti Hassan Hanafi, Arqoun, kuntowijoyo yang melegal Islamisasi Ilmu, dan banyak lagi para tokoh Muslim yang mampu merubah kacamata Islam untuk dunia Barat. Namun penghargaan keilmuan para tokoh Muslim tidak disikapi dengan baik oleh intelektual Barat, semakin kuat Amerika untuk terus memperluas kebudayaanya terhadap dunia.
kembali lagi ke bidang anarkis setelah kejadian 11 September itu, banyak kaum muslim yang teraniaya. Contohnya di negara Afghanistan, Amerika membumi hanguskan kawasan penduduk sipil yang tidak berdosa. Kekerasan dan teror banyak dialami oleh kaum muslim. Kaum muslim dikucilkan, dibatasi ruang geraknya hingga hak-haknya tidak terpenuhi.
Banyak orang menganggap Al-Qaeda lah yang bertanggung jawab atas tragedi WTC. Mengapa tidak berpikiran bahwa bisa jadi serangan itu bukanlah dilakukan oleh orang Islam namun dirancang oleh Amerika Serikat (AS) sendiri untuk menghancurkan umat Islam dan citra Islam?
Banyak bukti yang menyatakan, bahwa tragedi di WTC bukanlah aksi teror dari umat muslim, melainkan adanya konspirasi dan taktik bangsa Barat untuk menjatuhkan Islam. Hasil penelitian dari Dave von Kleist, penyiar TV dan radio, dan William Lewis, sutradara film documenter, peristiwa WTC banyak keganjilan yang tidak masuk akal. Saksi mata dalam peristiwa itu juga menyebutkan, bahwa keterangan para penyidik tidak berdasar. Sehingga, tuduhan terhadap Islam sebagai agama teroris merupakan taktik yang diciptakan Barat untuk menjatuhkan nama Islam dimata dunia. (Sumber: 911 Video and Photographic Evidence dari 911 In Plane Site).
kenyataan diatas memang sangat sulit dunia Barat untuk menerima Islam dengan ruang lingkup kebaikan dan Walaupun fakta-fakta telah diungkapkan, bahwa Islam bukan agama teroris, namun isu tersebut masih tetap berkembang. Banyak media yang justru menyudutkan Islam sebagai pihak yang bersalah. Akibatnya, Islam dianggap menjadi agama yang paling keras dan kejam.
Beberapa surat kabar Amerika menyatakan serangan 11 September 2001 merupakan ancaman hegemoni mereka. Setelah peristiwa itu, Amerika Serikat menyatakan perang terhadap terorisme. (Dari Penjara Taliban Menuju Iman: 41).
Walau Amerika menyatakan menumpas terorisme, namun mereka sebenarnya yang mempelopori aksi terorisme tersebut. Contohnya saja pengeboman yang terjadi di Afghanistan, awalnya semua orang mengira Amerika menjatuhkan bom di desa Kama akibat salah sasaran. Kenyataannya, Amerika terus-menerus menjatuhkan bom di desa itu selama tiga hari berturut-turut, jadi tidak mungkin itu tidak disengaja. Padahal desa tersebut merupakan daerah penduduk sipil. (Dari Penjara Taliban Menuju Iman:118) Kalau tragedi WTC itu disebut terorisme, lalu bagaimana pengeboman yang terjadi di Afghanistan tersebut?
Bukan hanya konflik Afghanistan, ketidakadilan yang dilakukan bangsa Barat terhadap Islam terlihat pada konflik lain seperti perang Amerika-Irak. Setelah Amerika membumi hanguskan daerah Irak, tuduhan tentang Irak yang memproduksi senjata nuklir tidak terbukti. Ironisnya, Amerika tidak mengakui kesalahannya dan justru masih bertahan untuk mempertahankan kekuasaannya di Irak.
Konflik yang paling mencolok adalah konflik antara Palestina-Israel. Bila bangsa barat berkeinginan menumpas terorisme, lalu kenapa tidak ada tindakan untuk menumpas kekerasan Israel yang merampas hak-hak Palestina?
Hal ini membuktikan, isu negatif itu merupakan tuduhan bangsa barat yang ingin menjatuhkan Islam di mata dunia. Segala opini dan berita dari media selalu menyudutkan Islam sebagai pihak yang bersalah. Padahal kekerasan yang terjadi, justru dimulai dari bangsa barat. Sehingga, berita miring yang berkembang saat ini tidak lain merupakan taktik barat untuk menghancurkan Islam.
3.2 Sikap Masyarakat Menaggapi Pandangan Negatif Barat terhadap Islam
Telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, Islam telah lama memiliki konflik yang cukup rumit dengan bangsa barat. Konflik tersebut melahirkan pandangan negatif barat terhadap Islam.
Kini, pandangan negatif tentang Islam semakin berkembang. Hal itu dipengaruhi dari berbagai media yang selalu menyudutkan Islam sebagai pihak yang bersalah.
Bila lebih kritis, justru bangsa Barat yang memulai konflik yang terjadi di dunia. Namun, ironisnya dunia telah menghakimi bahwa Islamlah yang paling keras dan kejam. Inilah uraian yang begitu negative Islam dimata dunia Barat, ada beberapa karakteristik Islam untuk dunia (rahmatan lil’alamin)
Etika Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan adalah ajaran Allah SWT.
c. Etika Islam bersifat universal dan komprehensif dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
d. Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia. (Studi Islam Kontekstual:45)
Islam mengajarkan etika-etika dan sikap yang tidak keras namun tegas. Bila ada pandangan negatif yang menganggap Islam adalah agama yang kejam dan keras, hal itu merupakan opini miring yang ingin menjatuhkan Islam.
Untuk itu, perlu ada sikap kritis dan cerdas menyikapi opini miring tersebut, agar tidak merugikan salah satu pihak.
Kalaupun ada serangan dari sebagian kecil orang Islam garis keras, hal itu dikarenakan rasa kekecewaannya terhadap kaum Nasrani dan Yahudi yang menindas mereka.
Bisa diibaratkan, bila seseorang disakiti, dan dia merasa kecewa dan sakit hati, apakah dia akan diam saja? Bila kita dilempar batu, apakah kita diam saja? Paling tidak, kita menangis atau menasehati yang melempar batu tersebut.
Begitulah perasaan orang-orang di Afghanistan, Irak dan Palestina. Mereka menyerang bukan karena tanpa sebab, melainkan Negara mereka telah dibumi hanguskan dan direnggut hak-haknya. Bila terjadi demikian, apakah mereka hanya diam saja? Kenyataannya, lokasi pengeboman yang dilakukan bangsa Barat adalah tempat masyarakat sipil yang tidak berdosa.
Sangat ironis, bila pembelaan orang-orang yang teraniaya itu disebut teroris. Namun cara-cara seperti pengeboman memang bukanlah solusi terbaik.
Selain media telah memberitakan hal-hal yang negatif tentang Islam, Barat telah berhasil memberi kesan setelah melempar batu, mereka sembunyi tangan.
Oleh karena itu, sikap yang perlu dilakukan masyarakat kita sebagai Muslim sejati adalah lebih kritis dan cerdas dalam menanggapi isu-isu dan pandangan negatif yang berkembang tentang Islam saat ini. Kita perlu meningkatkan atau mensosialisasikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil`alamin ini di berbagai kesempatan, seperti yang baru-baru ini diadakan di Jerman. Dan juga di Indonesia ada beberapa kasus seperti kasus Ahok dalam penistaan Agama Islam. Sebenarnya kalo kita lebih kritis lagi untuk melihat wacana tersebut banyak factor yang memang pada dasarnya ingin mengecam Islam di Indonesia jelek. Perlu diperhatikan bahwa Islam di Indonesia Islam khas dari ideology pancasila dengan kulturalnya, perularisnya, toleranya dan sangat sosialis. Hal ini memang umat Islam telah diguncangkan berbagai masalah, namun sikap kita harus lebih cerdas dan tanamkanlah nilai-nilai nasionalisme kita terhadap Negara.

Biorgafi, Hasan Khariri

Biorgafi, Hasan Khariri
BIOGRAFI SINGKAT
Ia lahir pada 31 Januari 1993 di kabupaten Brebes Negara Indonesia, diantara perbatasan jawa narat dan jawa ti,ur, daerah perkampungan Tanjungsari. kabupaten ini merupakan tempat arus jalan pantura dari arah timur ke barat. Masa kecil Khariri berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah orang-orang borjuis dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap intelektual muslim ketika di dunia akademik.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 2010, Khariri menyaksikan sendiri bagaimana pendidikan Islam telah robek oleh penguasa-punguasa politikus yang saat itu dunia pendidikan Islam dikecam buruk oleh Negara lain. Untuk itu kesadaran pada dirinya membuat semangat untuk gerakan pembahruan pada dirinya yang telah dimulai pada akhir tahun 2012-an hingga menghasilkan buah pikir pada tahun 2016. Atas saran gerakan mahasiswa Islam Pemuda Muslimin, pada tahun ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi PMII sampai Slesainya studi sarjana satu. Tahun 2016 Khariri belajar di IAIN Tulungagung untuk mendalami bidang filsafat dan lebih focus terhadap pemikiran lembaga pendidikan Islam. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Indonesia. Pada tahun-tahun ini pendidikan Islam yang terfokus di dunia pesantren telah menggeser jauh. Yang dulunya pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam kini berubah menjadi sarana pendidikan sekaligus sarana pembisnisan sebagai ajang materialis.
Tahun-tahun berikutnya, Khariri berkesempatan untuk menulis puisi untuk diberikan kepada institute perguruan tinggi swasta di Kediri, pada tahun 2015 puisi ini menggambarkan betapa lemahnya perguruan tingi swasta yang dibawah naungan para politis yang saat itu mahasiswa di institute agama Islam untuk memilih calon DPR seorang ulama yang memang untuk dipilih. Sasaran utamanya adalah pesantren dan kampus Islam. Dan menuliskan puisi untuk mengkritik rektorat pada saat itu tidak ada tanggapan. Di PMII inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis, tentang pembaharuan Ushul Fikih dan pendidikan Islam.
Di waktu-waktu luangnya, Khariri mengajar di SMKN Kediri. Antara tahun 2013 sampai 2016 ia mengajar pondok pesantren sebagaimana ia untuk melihat secara langsung dari orang-orang yang berpengaruh terhadap pesantren saat itu.
Pengalaman dengan para kyai besar dalam berbagai pertemuan penting, baik di kawasan pesantren, kampus, dan umum membantunya semakin paham terhadap persolan besar yang sedang dihadapi oleh pendidikan islam di berbagai daerah.

Senin, 15 Mei 2017

Proses Pembentukan Pemerintah dan Perkembangan Politik, Ekonomi, Administrasi Bani Abbasiyah



Makalah
Proses Pembentukan Pemerintah dan Perkembangan Politik, Ekonomi, Administrasi Bani Abbasiyah
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata kuliah
“Sejarah Peradaban Islam”

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag
Dr. H. Asmawi, M.Ag










Disusun Oleh:
Hasan Khariri
NIM. 17501164008
Semester 1

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI)
PASCASARJANA IAIN TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2016
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Proses Pembentukan Pemerintah dan Perkembangan Politik, Ekonomi, Administrasi Bani Abbasiyah”.
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak maupun sumber buku sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis banyak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik untuk perbaikan makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah mata kuliah Sejarah Peradaban Islam ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi.





Kediri, 23 September 2016

Penulis







DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata pengantar
Daftar isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2

Bab II Pembahasan
A. Proses Pembentukan Pemerintahan Dinasti Abbasiyah 3
B. Perkembangan Dunia Politik 10
C. Bidang Ekonomi 12
D. Bidang Administrasi 13

Bab III Penutup
A.Kesimpulan 16
B. Saran 16
Daftar pustaka 17




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang menerima beragam suku bangsa di dunia, karna islam bukan mengatasnamakan bangsa islam akan tetapi ia berbicara kebersamaan sosial dalam ruang ligkup kehidupanya. Rasulullah sebagai pelopor perubahan peradaban dari zaman jahiliyah menuju zaman keilmuan, dari sumber yang ia bawah Qu’an dan hadis mampu Islam mewarnai berbagai penjuru dunia. Dalam waktu kurang lebih 23 tahun Islam sudah tersebar di seluruh Jaziriah Arabia. Waktu 23 tahun itu dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode mekah dan madinah.
Setelah Rasullah wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh khulafaur Rasyidin. Pada perkembangannya Islam mengalami banyak kemajuan keilmuan bahkan Islam semakin meluas dipenjuru dunia.
Hal menarik yang terus dikaji dalam Islam ialah problematika pada masa khalifah Rasyidin. Meskipun Islam telah berkembang namun juga banyak mendapat tantangan dari berbagai persoalan luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan, pembunuhan hingga peperangan. Salahsatu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah peperangan Muawiyah dengan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan abitrase, permainan politik sepanjang sejarah dalam memosisikan Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut dari Ali bin Abi Thalib kaum khawarij ingin membunuh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh.
Setelah kematian Ali bin Abi Thalib, maka berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin dan berganti dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofwan. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala aspek hingga perluasan daerah kekuasaan.
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah, digantikan oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW, Berdirinya dinasti ini sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafatnya Rasulullah SAW. yaitu menyandarkan khilafah kepada keluarga Rasul dan kerabatnya.
Berdasar dari keterangan diatas, maka penulis tertarik untuk membahas sejarah pembentukan pemerintahan Dinati Abbasiyah sampai perkembangan politik, ekonomi, dan administrasi.
B. Rumusan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permasalahan, maka penulis membatasi rumusan masalah sebagai berikut ;
1. Bagaimana Pembentukan Pemerintah Dinasti Abbasiyah ?
2. Bagaimana Perkembangan Politik, Ekonomi dan Administrasi Dinasti Abbasiyah ?













BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Pembentukan Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Awal pembentukan Dinasti Abbasiyah ditandai adanya gerakan-gerakan perlawanan terhadap dinasti Bani Umayyah di Andalusia (sepanyol) pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Gerakan-gerakan untuk melawan kekuasaan Bani Umayyah menemukan momentumnya ketika para tokoh diantaranya Muhammad bin Ali, salah satu keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanan. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu juga didukung oleh kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Umayyah.
Akhir kekuasaan dinasti bani Umayyah pada tahun 132 H/750 M dengan terbunuhnya Khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad di Fustat, Mesir pada tahun itu dan berdirilah kekuasaan dinasti Abbasiyah.
Dinasti Abbasiyah merupakan corak kemajuan perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, dari ilmu tasawuf, sosial, filsafat, sains, kedokteran, penafsiran sampai ilmu bahasa. Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan dinasti Bani Abbas melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari tahun 132 H (750 M) sampai 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Gerakan yang digalang oleh keluarga al-abbas ini sebenarnya awalnya bersifat rahasia, kemudian berlanjut secara terang-terangan, setelah merasa punya dukungan dari rakyat. Dan setelah perjuangan Bani Abbas menuju tampuk kekuasaan tidak ditutup-tutup lagi, terjadilah penangkapan besar-besaran pengikut Abbasiyyah diberbagai kota termasuk pemimpinya maupun pejabatnya. Salah satu tokoh Abbasiyah yaitu Ibrahim al-Imam ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara dipaksa agar dia buka mulut, akan tetapi dia sampai mati terbunuh al-Imam tetap merahasiakan gerakanya.
Kemudian Abu Muslim mulai menggerakan segenap laskarnya untuk menggempur Khalifah Marwan. Itu dilakukan karna tersiar kabar terbunuhnya Ibrahim al-Imam dalam penjara, ia bahkan sekaligus mengumumkan secara terbuka bahwa jabatan al-Imam dipindahkan ke pada Abul Abbas sebagai calon Khalifah Bani Abbasiyah. Kedua angkatan bersenjata mulai melakukanya di satu tempat yang bernama Zab yang terletak antara kota Mousil dan Toriel. Dalam pertempuran yang sengit itu, pasukan Marwan mengalami kekalahan yang sangat berat. Khalifah Marwan melarikan diri ke Damaskus, kemudian terus ke mesir, dan akhirnya terbunuh disini. Dengan demikian berakhirlah riwayat dinasti Bani Umayyah dan lahirlah dinasti baru yang perjuangan menuju tampuk kekhalifahan cukup panjang, yaitu dinasti Abbasiyah. Penulis mengamati bahwa ada dua strategi yang dilakukan oleh Daulah Abbasiyah yaitu, pertama strategi rahasia untuk mencari pendukung dan penyebaran ide-ide. Strategi kedua yaitu, dengan terang-terangan melawan Daulah Umayyah. Dari dua strategis yang di terapkan oleh Muhammad Al-Abbasy dan kawan-kawanya sejak akhir abad pertama sampai 132 H akhirnya membuahkan hasil berdirinya Daulah Abbasiyah.
Pada tanggal 28 November 749 M menerima pembai’atan terhadap Abu al-Safah sebagai Khalifa pertama di Kufah sebagai Khalifah dinasti Bani Abbasiyah. Pembai’atan itu sangat penting dan menyejarah menuju babak baru dinasti Abbasiyah. Arti penting pembai’atan itu karna pembai’atan merupakan penobatan yang dilakukan oleh rakyat, dan merupakan satu-satunya pegangan yang pasti bagi seseorang untuk memiliki tahta Khalifah.
Tokoh Propagandis yang bernama Abu Salmah mengundang penduduk Kufah untuk berkumpul di masjid pada hari jum’at, dia menjelaskan maksud pertemuan itu kepada para jama’ah. Abu Muslim mengatakan bahwa pembela Agama Islam dan orang yang telah mempertahankan hak keluargan nabi Muhammab SAW, telah melemparkan Bani Umayyah dari kekuasaan yang penuh dosa, karenanya perlu memilih seseorang imam dan Khalifah, dan tidak ada yang lebih utama dalam hal kesalehan, kemampuan dan segala kebajikan yang diperlukan untuk kedudukan itu selain Abul Abbas. Dialah yang diusulkan kepada kaum mukminin supaya dipilih. Mendengar penjelasan tersebut, mereka pun bersorak-sorak mengumandangkan takbir sebagai tanda persetujuan.
Apabila dicermati tentang keberhasilan pendirian dinasti Abbasiyah ini ada beberapapa faktor ialah:
a. Solidaritas kekeluargaan
b. Lemahnya Bani Umayyah pada akhir pemerintahanya
c. Bani Umayyah bercorak sentris
d. Dukungan dari Al Mawali (non arab)
e. Kekuatan militer
Dalam sejarah berdirinya daulah Abbasiyah, menjelang akhir Daulah Muawiyah terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2. Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Abbasiyah. Gerakan ini menghimpun:
a) Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b) Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
c) Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-khurasany.
Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1) Periode pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M).
Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu.
Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab. Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jabatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
2) Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.

Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut:
a. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c. Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

3) Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Di dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.

4) Periode keempat (1055-1199 M).
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang-orang Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut.
5) Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal di periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan. Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.

B. Perkembangan Dunia Politik
Jatuhnya dinasti Umayah yang menelan korban jiwa besar dari kalangan dinasti Umayah sekaligus sebagai tonggak awal berdiinya dinasti Abassiyah. Sebagai kekuatan baru yang mulai tumbuh dan ditegakkan di atas puing-puing kehancuran dinasti Umayyah, menjadikan langkah awal yang dijalankan oleh pemerintah bani Abbas adalah upaya pemantapan dan stabilitas yang dilakukan oleh pemerintahan Abbasiyah antara lain sebagai berikut.
1. Melenyapkan kekuasaan dinasti Umayyah
Dalam pembai’atan di masjid Kufah adalah formulasi berdirinya daulat Abbasiyah. Pada saat itu kekuasaan bani Umayyah masih masih ada dibawah pemerintahan khalifah Marwan berpusat di Damaskus. Karna itu sebenarnya terdapat dualisme kekuasaan. Yang pertama kekuasaan daulatan Umayyah berada dalam kelemahan, namun tetap dipandang ancaman serius oleh kedaulatan Abbasiyah. Sedangkan yang kedua adalah kekuasaan Abbasiyah yang sudah kuat dan semakin berkembang.
Kenyataan diatas masih ada kekuatan Umayyah, menjadikan Abul Abbas menyiapkan suatu pasukan elit yang di bawah pimpinan Abdullah bin Ai, paman Abu Abbas sendiri. Di lembah sebelah sungai al-Zab salah satu cabang sungai Tigris yang berada di sebelah timur Mosul terjadi pertempuran yang sangat dahsyat yang dimenangkan oleh pasukan Abbasiyah. Kemudian mereka terus menerus ke jantung pertahanan Umayyah di Damaskus sehingga menyebabkan khalifah Marwan II melarikan diri ke Palestina, dan kemudian ke Mesir. Peristiwa ini terjadi pada bulan januari 750 M dengan demikian, berati bani Abbas berhasil menguasai daerah-daerah di Syam.
Meskipun penguasaan sudah di Syam, namun usaha pengejaran terhadap khalifah Marwan II terus dilakukan berlanjut. Tepatnya pada bulan agustus 750 M khalifah Marwan II ditemukan dan dibunuh oleh Saleh bin Ali, saudara Abbas as-Safah. Terbunuhnya khalifah Marwan II berati berakhirnya pemerintahan bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, dan selanjutnya Abu Abbas as-Safah menjadi sebagai penguasa tunggal bagi dunia Islam.
Semua kekuatan-kekuatan yang tersisa dan dianggap ancaman oleh dinasti Abbasiyah dilumpuhkan. Upaya-upaya itu dilakukan agar tidak ada gangguan-gangguan maupun politik dalam perjalanan pemerintahan Abbasiyah, dan Abbasiyah terbebas dari ancaman dalam bentuk apapun.

2. Memadamkan upaya gerakan-gerakan pemberontakan
Meskipun keras yang dilakukan oleh kelompok Abbasiyah, tetapi tidak berati pemerintah Abbasiyah kuat. Buktinya beberapa pemberontakan yang mengancam pemerintahan Abbasiyah.
Setelah Abu Ja’far Al Manshur menjadi khalifah menggantikan saudaranya Abul Abbas As-Safah mewaspadai tiga kelompok yang menurutnya dapat menjadi batu sandungan Bani Abbasiyah. Kelompok pertama, yang di pimpin oleh Abdullah bin Ali, adik kandung Muhammad bin Ali ia menjabat panglima perang. Kedua, dipimpin oleh Abu Muslim Al Khurasani ia adalah orang yang berjasa besar dalam membantu pendiri Dinasti Abbasiyah. Ketiga, kalangan Syiah yang dipimpin pendukung berat keturunan Ali bin Abi Thalib. Masyarakat luas banyak yang simpati karena dalam melakukan gerakan mereka membawa nama-nama keluarga nabi Muhammad SAW.
3.Para Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sementara para mentri, gubernur, panglima, dan pegawailainya banyak di angkat dari golongan mawali turunan persia.
4. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
5. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
6. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
7. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah.


C. Bidang Ekonomi
1) Perdagangan dan industri
Segala usaha di tempuh untuk memajukan perdagangan dengan memudahkan jalan-jalanya, seperti di bangun sumur dan tempat peristirahatan di jalan-jalan yang dilewati oleh kafilah dagang, dibangun armada-armada dagang, dan di bangun armada-armada untuk melindungi pantai negara dari serangan bajak laut. Serta membetuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi pasaran dagang, mengatur ukuran timbangan, menentukan harga pasaran (mengatur politik dagang) agar tidak terjadi penyelewengan. Baghdad menjadikan kota pusat perdagangan serta kota transit yang menghubungkan perdagangan Timur dan Barat.
Ada beberapa faktor yang mendukung kemajuan sektor industri ialah adanya potensi alam berupa barang tambang, perak, tembaga, biji besi. Selain itu ada ahli tehnologi industri kertas, textil, sutra, wol, gelas, dan keramik.
2) Pertanian dan perkebunan
Kota-kota administratif seperti Basrah, Khufah, Mosul, dan al-Wasit menjadi pusat usaha-usaha pengembangn pertanian dan rawa-rawa di sekitar Kuffah di keringkan dan di kembangkan menjadi kawasan pertanian yang subur. Untuk menggarap daerah-daerah pertanian tersebut di datangkanlah buruh tani dalam jumlah yang besar dari Afrika Timur guna menciptakan ekonomi pertanian dan perkebunan yang intensif. Di samping itu usaha untuk mendorong kaum tani agar lebih intensif di lahkukan beberapa kebijakan antara lain:
a. Memperlakuhkan ahli zimmah dan nawaly dengan perlakuan yang baik dan adil, serta menjamin hak milik dan jiwa mereka.
b. Mengambil tindakan yang keras terhadap pejabat yang berlaku kejam terhadap petani.
c. Memperluas daerah pertanian dan membangun kanal-kanal dan bendungan baik besar maupun kecil, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak ada irigasi.
3) Pendapatan Negara
Selain dari sektor perdagangan, pertanian, dan perindustrian, sumber pendapatan negara juga berasal dari pajak. Pada masa Harun al-Rasyid, pemasukan pada sektor ini mencapai 272 juta dirham dan 4 juta dinar pertahun.
Adapun pendapatan negara pada saat pemerintahan bani abbas ini secara umum adalah dari:
a) pajak hasil bumi yang disebut dengan Kharaj
b) pajak jiwa yang disebut dengan jizyah
c) berbagai macam bentuk zakat
d) pajak perniagaan dan cukai yang disebut dengan syur
e) pembayaran pihak musuh karena kalah perang yang disebut fai’
f) rampasan perang atau ghanimah.
4) Sistem Moneter
Sebagai alat tukar, para pelaku ekonomi menggunakan mata uang dinar (pedanag barat) dan dirham (pedagang timur). Penggunann dua mata uang ini menurut Azumardi Azra, memiliki dua konsekuensi. Pertama, mata uang dinar harus di perkenalkan di wilayah-wilayah yang selama ini hanya mengenal mata unag dirham. Kedua, dengan mengeluarkan banyak mata uang emas, mengurangi penyimpanan emas batangan atau perhiasan sekaligus menjamin peredaran uang dengan kebutuhan pasar. Kebijakan di sektor ini adalah di ciptaknya sistem pembayaran dengan sistem cek agar memepermudah para kafilah-kailah dagang bertransaksi.

D. Bidang Administrasi
Sebelum Abbasiyah, dalam pemerintahan pos-pos terpenting di isi oleh Bani Umayyah notabene bangsa arab, namun pada masa abbasiyah orang non-arab mendapat fasilitas dan menduduki jabatan strategis. Khalifah sebagai kepala pemerintahan, penguasa tertinggi sekaligus menguasai jabatan keagamaan. Disebut juga bahwa para khalifah tidak peduli dan mentaati suatu aturan atau cara yang tetap untuk mengangkat putera mahkota, yaitu sejak masa al-Amin. Pada masa ini, jabatan penting diisi oleh seorang wazir yang menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh hukum Islam untuk mengangkat dan menurunkan para pegawai. Wazir adalah pelaksana non-militer yang diserahkan sang khalifah kepadanya. Ada dua macam wazir, yaitu wazir yang bertugas sebagai pembantu Khaliah dan bekerja atas nama Khalifah. Yang kedua, wazir yang diberi kekuasaan penuh untuk memimpin pemerintahan. Yang pertama disebut juga wazir utama atau sekarang sama dengan perdana menteri yang dapat bertindak tanpa harus direstui khalifah, termasuk mengangkat dan memecat para gubernur dan hakim. Pada saat para khalifah lemah, kekuasaan dan kedudukan wazir meningkat tajam. Sementara wazir tidak berkuasa penuh, hanya mentaaati perintah khlifah saja. Karena itulah Khalifah cukup terbantu dengan kedudukan wazir-wazir ini.
Selain itu juga pada masa Umayyah terdapat lima kementrian pokok, yang disebut diwan, maka dimasa Abbasiyah kelima tersebut ditambah jumlahnya lebih dari tiga belas. Ke lima belas mentri tersebut ialah (1) Diwan al-jund (war of office). (2) diwan al-Kharaj (Department of Finance). (3) Diwan al-Rasal (Board of Correspondence). (4) Diwan al_khatam (Board og Signet). (5) Diwan al-Barid (Postal Department). Kelima diwan ini pada era Abbasiyah ada penambahan diwan diantaranya. (6)Diwan al-Azimah(the Audit and Account Board). (7) Diwan al-Nazri fi al-mazalim (Appeals and Investigation Boars). (8) Diwan al-Nafaqat (the Board of Expenditure). (9) Diwan al-Sawafi (the Board of Crown Land). (10) Diwan al-Diya (the Board of States). (11) Diwan al-Sirr (the Board of Military Infection). Dan, (13) Diwan al-Tawqi’ (the Board Request). Semua ini untuk menjalankan roda pemerintahan Bani Abbasiyah.
Selanjutnya, ada beberapa propinsi dinasti abbasiyah, setiap propinsi dipimpin oleh seorang gubernur. Diantara propinsi-propinsi abbasiyah ialah:
1) Kufah dan Sawwad
2) Bashrah dan daerah-daerah Dajlah
3) Hijaz dan Yamamah
4) Yaman
5) Ahwaz yang meliputi Khuzistan dan Cattan
6) Persi
7) Khurazan
8) Mosul
9) Jazirah, Armania, Azerbaijan
10) Suriah
11) Mesir dan Afrika
12) Sind
Penataan administrasi pada masa pemerintahan Abbasiyah mengalami perkembangan yang sangat tinggi. Karna disebabkan pengaruh Persi yang masuk didalam pemerintahan. Sebab Persi memamg sejak awal terkenal ilmu administrasi, sehingga pengaruh Persi menjadi terakomodir di sistem pemerintahan, ditambah lagi bahwa pusat pemerintahan Islam zaman bani Abbasiyah berada di kekuasaan Persi, setelah Persi dikuasai oleh umat Islam.
















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan masalah mengenai Dinasti Abbasiyah maka dapatlah mengambil isi makalah yaitu :
1. Dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari tahun 132 H (750 M) s. d 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
2. Pada masa kuasa Dinasti Abbasiyah banyak kemajuan yang telah dicapai yaitu dalam bidang administrasi, agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan pemerintah.
3. Apabila dicermati tentang keberhasilan pendirian dinasti Abbasiyah ini ada beberapapa faktor ialah, Solidaritas kekeluargaan, Lemahnya Bani Umayyah pada akhir pemerintahanya, Bani Umayyah bercorak sentris, Dukungan dari Al Mawali (non arab), Kekuatan militer


B. Saran
Bila mana dalam makalah ini terdapat kekeliruan maka saran dari pembaca sangat diharapkan agar karya ini dapat dijadikan suatu bahan informasi sesuai dengan tujuannya.




Daftar Pustaka

Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah kebudayaan Islam, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Maju, 2009.
Ahmad Syaiabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 2007.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010.
Imam Fu’ad, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Teras, 20011.
Nur Chamid, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2011
Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur, Sejarah Kebudayaan Islam, (Mojokerto: CV. Sinar Mulia, 2012.



Al Farabi: Teori Emanasi dan Falsafah Kenabian, oleh: Hasan Khariri

Makalah
Al Farabi: Teori Emanasi dan Falsafah Kenabian
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata kuliah
“Sejarah Pemikiran Islam”

Dosen Pembimbing:
Dr. Ngainun Na’im, M.HI.
Dr. H. Syamsun Ni’am, MA










Disusun Oleh:
Hasan Khariri
NIM. 17501164008
Semester 1


PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI)
PASCASARJANA IAIN TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2016
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Al Farabi teori emanasi dan kenabian”. Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis banyak menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dosen Dr. Ngainun Na’im, M.HI. dan Dr. H. Syamsun Ni’am, MA selaku dosen pembimbing matakuliah yang memberikan banyak bermanfaat untuk andil dalam pengetahuan. Dan juga semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik untuk perbaikan makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah mata kuliah Sejarah Pemikiean Islam ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi.






Kediri, 10 Oktober 2016

Penulis






DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata pengantar
Daftar isi
A. Pendahuluan 1
B. Riwayat Hidup 2
C. Karya-karya Al Farabi 3
D. Filsafat Emanasi 4
E. Falsafat Kenabian 7
F. Syair Al Farabi 8
E. Syair Al Farabi 11
F.Kesimpulan 13
G. Saran 13
Daftar pustaka 14





A. Pendahuluan
Tokoh muslim pertama yang dikenal di bidang pemikiran filsafat adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak al-Sabah al-Kindi (796- 873 M). Selain filusuf, lelaki berdarah Arab ini dikenal juga sebagai seorang tabib dan astronom terkemuka. Ia merupakan salah satu tokoh pelopor dalam penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani maupun India kedalam bahasa Arab. Al-Kindi telah meletakkan dasar-dasar Filsafat Islam.
Kemudian datanglah pada zaman berikutnya Abu Nashr al-Farabi. Ia memperkokoh dan memantapkan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh al-Kindi. Orang Arab menamakan al-Farabi guru kedua (المعلم الثاني ), karena mereka memandang Aristoteles sebagai guru pertama ( المعلم الاول). Dalam tulisan-tulisannya, kerangka pemikirannya cenderung berusaha memadukan corak filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme dengan pemikiran keislaman mazhab Syiah Imamiyah. Ia percaya, seperti halnya al-Razi, bahwa akal merupakan akses utama untuk mencapai kebenaran.
Para ahli sejarah tidak ada yang menyebutkan sejarah masa kecil dan mudah Al Farabi, karena hanya sedikit sekali orang yang mempelajari sejarah hidupnya. Hal yang sering diketahui ia sering berpergan dan pindah-pindah tempat. Adapun rute perjalanan yang disebutkan hanya ketika Al Farabi berusia lima puluh tahun, yaitu ketika ia pergi ke Baghdad pada tahun 310 H/922 M untuk mengikuti jejak para ulama dan peneliti.
Ada kisah yang menyebutkan bahwa Al Farabi membaca salah satu buku Aristoteles sebanyak seratus kali dan buku lainya empat puluh kali, seraya menambahkan Al Farabi masih tetap merasa perlu untuk terus mengulang bacaanya lagi. Al Farabi menulis sebagian buku-bukunya sewaktu ia tinggal di Baghdad selama hampir dua puluh tahun, yaitu masa-masa penting kematangan pemikiran dan keilmuanya.
Pemikiran-pemikiran al-Fārābi tentang emanasi ( الفيض ), filsafat jiwa ( النفس ), filsafat kenabian, dan teori politiknya ( المدينة الفاضلة) adalah merupakan sumbangan pemikiran beliau terhadap pemikiran filsafat di dunia islam. Terlepas dari bantahan-bantahan yang diutarakan oleh Al-Ghazali terhadap pemikiran-pemikiran al-Fārābi, namun yang jelas adalah al-Fārābi adalah seorang pemikir muslim yang banyak menyumbangkan buah pikiran yang cemerlang terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, terutama didunia Islam.

B. Riwayat Hidup
Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan, sebutan al Farabi diambil nama kota Arab. Ia lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) tahun 870 M. Bahkan menurut keterangan Farabi berasal dari Turki dan orang tuanya adalah seorang Jenderal. Pendidikan dasar al Farabi dari dasar-dasar ilmu Agama dan bahasa. Ia juga mempelajari ilmu matematika dan filsafat serta melakukan pengembara sejak muda hingga dewaa, demi mendapatkan ilmu.
Menurut keterangan ia pernah menjadi hakim. Dari Farab ia kemudian pindah ke baghdad yang terkenal pusat ilmu pada waktu itu. Disana ia berguru dengan Abu Bisr Matta ibn Yunus (penerjemah) dan tinggal di baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo tinggal di istanah Saif al Daulah, karna ingin memfokuskan ilmu pengetahuan dan filsafat. Istana Saif al Daulah adalah tempat pertemuan ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu. Al Farabi wafat usia 80 tahun di Aleppo pada tahun 950 M.
Menurut Massignon, orientalis Prancis, Al Farabai adalah seorang filosof Islam yang pertama dengan sepenuh arti kata. Sebelum dia Al Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Akan tetapi ia tidak menciptakan sistem filsafat tertentu, sedangkan persoalan-persoalan yang dibicarakan masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya, Al Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap dan memainkan peranan yang paling penting dalam dunia Islam seperti peranan yang dimiliki oleh Plotinus bagi dunia Barat. Begitu juga Al Farabi menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filosof-filosof Islam lain yang datang sesudahnya. Oleh karena itu, ia mendapat gelar guru kedua (al-mu’allim ats-tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapatka gelar guru pertama (al-mu’allim al-awwal).
C. Karya-karya Al Farabi
Al farabi meninggalkan banyak karya tulis, menurut penelitian setidaknya ada 119 buah karya tulis namun sayangnya hilang atau belum dipublikasikan, dan yang masih dapat dibaca baik yang sampai pada kita maupun yang tidak kurang lebih 30 judul. Diantara judul karyanya adalah sebagai berikut:
1. Al Jam’u baina Ra’yay Al Hakimain Aflathun wa Aristhu
2. Tahqiq Ghardh Aristu fi kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah
3. Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al Yunani
4. At-Ta’liqat
5. Kitab Tahshil As-Sa’adah
6. Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qobal Ta’allumi Al-Falsafah
7. Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah
8. ‘Uyun Al-Masa ‘il
9. Ara ‘Ahl Al-Madinah Al-Fadilah
10. Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita
11. Maqalat fi Ma’ani Al-Aql
12. Fushul Al-Hukm
13. Risalah Al-Aql
14. As-Siyasah Al-Madaniyah
15. Al Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibah Anha.
Secara garis besar karya-karya Farabi dapat dikelompokan dalam beberapa tema. Yaitu, logika, fisika, matematika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan lainya.
Al farabi berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan atau pelajari ketangan orang awam. Karna itu filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat atau filsafat mereka dalam gaya bahasa yang samar, agar tidak diketahui oleh sembarangan orang. Dengan demikian iman serta keyakina tidak menjadi kacau. Farabi juga berpendapat bahwa filsafat dan agama bisa membawa kebenaran, jadi tidak bertentangan, malah sama-sama membawa pada kebenaran.

D. Filsafat Emanasi
Emanasi ialah teori tentang keluarnya suatu wujud. Filsafat emanasi Al-Farabi menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi Al-Farabi.
Proses emanasi tersebut yakni, Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama, dan dari pemikiran ini timbulah wujud ketiga, yang disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama. Maksudnya, wujud-wujud yang muncul tersebut tidak berada pada derajat yang sama tetapi bertingkat-tingkat, dimana wujud yang keluar kelib dahulu dan dekat dengan sebab pertama dianggap lebih mulia dibanding wujud-wujud lain yang baru muncul kemudian, dan begitu seterusnya. Semkin jauh dari sebab pertama berati semakin rendah nilai dan posisinya.
Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neoplatonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak bisa didapatkan hakekatnya yang sebenarnya. Akan tetapi, Al Farabi dapat menguraikannya secara ilmiah, dan ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan, karna Tuhan mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.
Akan lebih jelasnya lagi lewat pertanyaan, bagaimana cara terjadinya emanasi tersebut? Seperti halnya dengan Plotinus, Al Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa. Oleh karena itu, yang keluar dari pada-Nya juga suatu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari Zat Tuhan itu berbilang, berati Zat Tuhan itu pun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujud-Nya.
Wujud yang pertama keluar dari Tuhan disebut akal pertama, yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakekatnya sendiri yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagai Zat yang menjadikan. Jadi, meskipun akal pertama tersebut satu (tunggal), pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi objek pemikiranya. Dengan adanya segi-segi ini, dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.
Dalam teori emanasi ini Tuhan dilukiskan sebagai yang sama sekali Esa dan karenanya tidak bisa didefinisikan. Menurutnya, definisi hanya akan menisbatkan batasan dan susunan kepada Tuhan yang itu mustahil bagi-Nya. Tuhan itu adalah substansi yang azali, akal murni yang berfikir dan sekaligus difikirkan. Ia adalah aql, aqil dan ma’qul sekaligus.
Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan benda-benda langit lainnya, yaitu: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus; Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter; Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars; Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari; Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus; Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri; Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan; dan Akal X menghasilkan Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok : air, udara, api dan tanah.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui pada zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Begitulah alam semesta tercipta dalam filsafat emanasi Al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak itu, tetapi melalui Akal-Akal dalam rangkaian emanasi. Dengan demikian dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak dan Tuhan juga tidak langsung berhubungan dengan yang banyak. Inilah tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi dan filsuf-filsuf muslim berikutnya yang menganut faham emanasi. Implikasi logis dari faham emanasi ini adalah pendapat bahwa alam diciptakan bukan dari tiada atau nihil (creatio ex nihilo) sebagaimana sebelumnya masih diterima oleh al-Kindi, tetapi dari sesuatu materi asal yang sudah ada sebelumnya yaitu api, udara, air dan tanah. Materi asal itupun bukannya timbul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh pemikiran Tuhan.
Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan befikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim.
Dengan dasar inilah menurut al-Farabi, bahwa alam materi ini ada bukan karena diadakan oleh Allah dengan cara penciptaan, tapi alam ini bisa ada karena proses emanasi atau pemancaran. Hal tersebut menurutnya karena beberapa alasan: (1). Proses penciptaan itu mengharuskan perubahan pada zat pencipta, dan hal itu mustahil pada Allah , (2). Proses penciptaan akan mengharuskan keterkaitan yang abadi antara yang mencipta dan yang diciptakan , sementara itu tidak mungkin terjadi, dan (3). Allah itu Maha Esa dari segala segi, makanya tidak akan muncul sesuatu dariNya kecuali satu. Dengan alasan-alasan inilah al-Farabi telah memaksakan teorinya bahwa alam ini ada bukan karena diadakan oleh Allah dengan cara penciptaan akan tetapi itu merupakan "proses munculnya yang banyak dari Yang Satu dengan tetap terpeliharanya wujud yang Satu ini dengan ke-Esaan-Nya dan Kesempurnaan-Nya.
Mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh? Karna disesuaikan bilangan bintang yang berjumlah sembilan, yang tiap-tiap akal diperlukan satu planet, kecuali akal pertama yang tidak disertai suatu planet ketika keluar dari Tuhan. Akan tetapi mengapa jumlah bintang ada sembilan? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian Al Farabi menambah dua, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap , yang diambil dari Ptolomey seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad kedua Masehi.
Jadi ada 10 akal dan 9 langit ( teori Yunani tentang 9 langit) yang kekal berputar sekeliling bumi. Tentang qidam (tidak bermula) atau barunya alam, Al Farabi, mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut Al Farabi, alam ini terjadi dengan tak permulaan dalam waktu, yaitu tidak secara terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus tak berwaktu.
Tidak jelas apa yang dimaksud Al Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi Al Farabi alam ini baru. Tetapi De Boer mengartikan alam bagi Al Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan memancar itu terjadi dari qidam.

E. Falsafat Kenabian
Filosof-filosof dapat mencapai hakekat-hakekat karena melalui komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Begitupun Nabi dan Rosul, dapat menerima wahyu karena memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh. Namun Rosul dan Nabi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari filosof, karena Rosul dan Nabi telah dipilih dan bukan atas usaha sendiri dalam berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, namun atas pemberian dari Tuhan. Sedangkan filosof mengadakan komunikasi atas usahanya sendiri, melalui latihan dan kontemplasi, kemudian komunikasi dapat dilakukan melalui akal, yaitu akal mustafad. Rosul dan Nabi tidak perlu mencapai hingga Akal Mustafad untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, mereka dapat melakukannya yakni dengan daya pengetahuan yang disebut dengan imaginasi, yang dapat melepaskan mereka dari pengaruh-pengaruh panca indera dan dari tuntutan-tuntutan badan, sehingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan Akal Kesepuluh.
Falsafat kenabian ini di jelaskan Al-Farabi untuk menentang aliran yang tak percaya kepada Nabi atau Rasul seperti yang dibawah Al-Razi dan lainnya di zaman itu.
Lebih lajutnya, pada masa-masa pertama Islam kaum Muslimin mempercayai sepenuhnya apa yang datang dari Tuhan, tanpa membahasnya atau mencari-cari alasannya. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena hal ini mulai dikeruhkan dengan oleh berbagai hal keraguan, setelah golongan-golongan di luar Islam perlahan-lahan dapat memasuki fikiran ummat muslim. Golongan-golongan itu adalah golongan Mazdak, dan Manu dari Iran, golongan Sumniyah dari agama Mrahma, serta orang-orang Yahudi dan Masehi. Sejak saat itu, setiap dasar-dasar agama Islam dibahas dan dikritik.
Sehubungan dengan ini, kritikan Ibn ar-Rawandi (Wafat akhir 111 H) dan Abu Bakar ar-Razi (Wafat 250 H). terhadap kenabian perlu dicatat, Ibnu ar-Rawandi dan dalam bukunya yang berjudul Az Zamarrudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad SAW pada khususnya, ia banyak memberikan kritikan terhadap ajaran-ajaran Islam dan Ibadahnya, dan menolak mukjizat-mukjizat keseluruhannya.
Khusus mengenai kenabian, ia mengatakan bahwa rasul-rasul itu sebenarnya tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, agar mereka dapat membedakan antar yang baik dan yang buruk. Pada intinya Ibnu ar-Rawandi dalam hal ini berpendapat bahwa keberadaan akal itu sudah cukup.
Ar-Razi seorang dokter dan tokoh filsafat, juga tidak kurang bahaya, karena ia menulis dua buku, yaitu Makhariq al-Anbiya aw HiIya al-Munatanabbi-in (Mainan nabi-nabi atau tipu daya terhadap orang yang mengaku menjadi Nabi) dan Naqdl al-Adyan aw fi an Nubuwwah (Menentang agama-agama atau menentang kenabian). Menurut Massignon, buku pertama tersebar luas, sampai mencapai Dunia Barat sehingga buku tersebut menjadi sumber kritikan-kritikan yang di lancarkan oleh para rasionalis eropa terhadap agama dan kenabian. Pada masa Frederick II Buku kedua, beberapa bagiannya sampai kepada kita melalui tulisan-tulisan Abu Hatim ar-Razi (Wafat tahun 330 H) dalam bukunya A’lam an-Nubuwwah yang dikarang untuk menolak pandangan ar-Razi mengenai teori kenabian. Serangan Abu bakar ar-Razi pada pada garis besarnya tidak banyak berbeda dengan serangan ar-Rawandi, seolah-olah kedua orang tersebut bersumber satu, atau seolah-olah ajaran Hindu dan Manu tersembunyi di belakangnya, dan tidak jauh kemungkinannya kalau keduanya mengetahui kritik orang-orang Yunani terhadap berbagai agama. Bagaimanapun juga, baik karena terpengaruh oleh fikirannya sendiri, namun yang jelas ialah bahwa ia mengakui dirinya sebagai orang-orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua itu, dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak dibedakannya seseorang dengan lainnya. Dalam suasana penuh perdebatan tentang kenabian
muncullah al Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia
hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil
penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi
filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang
membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain hampir tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam
filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat
hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak Pada waktu membicarakan negeri
utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al
aql al fa’āl, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.
Hubungan tersebut bisa diamati dan bisa ditempuh dengan dua jalan, jalan ini
yaitu merupakan jalan fikiran dan jalan imajinasi penghayalan, atau dengan perkataan
lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Perlu diketahui sudah barang tentu tidak
semua orang dapat mengadakan hubungan berfikir dan imajinasi penghayalan. melainkan
hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam
gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran
yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan
orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama
yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan
dengan berfikir apa yang difikirkan bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan
ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita
merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
Ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur ataupun jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara
kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak
mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah merupakan
salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya
juga sama Meskipun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah
satunya, maka dapat pula kita menerangkan yang lain. Hubungan antara kedua cara
tersebut dijelaskan oleh al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl Madinah al-Fadhilah.
Kalau imajinasi dapat mengadakan gambaran-gambaran tersebut dengan
bentuk alam rohani. Misalnya orang tidur melihat langit dan orang-orang yag
menempatinya serta meraskan senang terhadap kenikmatan-kenikmatan yang ada di
dalamnya. Di samping itu imajinasi kadang-kadang naik kealam langit dan
berhubungan dengan akal apa yang dilakukan dan melihat untuk menerima hal-hal yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa. Hubungan tersebut bisa terjadi di waktu siang atau
pun di waktu malam, dan dengan adanya hubungan ini maka kita dapat menafsirkan
kenabian dan kebesaran yang dimiliki nabi karena hubungan tersebut merupakan sumber impian yang benar dan mendapatkan pengetahuan maupun wahyu yang benar.
Orang yang melihat hal sedemikian itu mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kebesaran yang agung dan mengagumkan, dan ia melihat perkara-perkara ajaib yang tidak mungkin sama sekali terdapat pada alam maujud. Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada kalangannya pada waktu jaga untuk menerima dari al aql al fa’āl dan dari peristiwa-peristiwa sekarang atau peristiwa-peristiwa mendatang, atau obyek-obyek inderawi yang merupakan salinannya. Ia dapat pula menerima salinan-salinan dan obyek-obyek fikiran dan wujud-wujud lain yang mulia dan, melihatnya pula.
Dengan adanya penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut mempunyai ramalan (Nubuwwah) terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang basa dicapai oleh kekuatan imajianasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut. Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut al-Farabi, ialah bahwa ia mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan dia dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia jaga. Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al aql al fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, kecuali pada waktu tidur, dan kadang-kadang mereka sukar untuk dapat mengutarakan apa yang diketahuinya.
Demikianlah teori kenabian-kenabian dari al-Farabi yang dipertalikan dengan soal-soal kemasyarakatan, dan kejiwaan, sepertiyang dikemukakannya dalam bukunya ‘Ara-u Ahl al-Madinahal. Fadhilah Menurut al-Farabi, nabi dan filosof adalah orang-orang yang pantas mengepalai negeri utamanya, dimana kedua-duanya dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl
yang menjadi sumber syariat dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan tersebut.
Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah hubungan nabi melalui imajinasi
maka hubungan filosof melalui pembahasan dan pemikiran.

F. Syair Al Farabi
Sejumlah ahli sejarah meriwayatkan tentang Al Farabi, bahwa ia pernah menulis sejumlah bait syair. Hanya saja, sebagian ahli sejarah yang lain meragukan penisbatan syair tersebut kepada Al Farabi. Diantara syair itu ada yang berbentuk doa.

Syair (1)
Wahai sebab segala sesuatu, kumpulkanlah !
Dan yang karena-Nya turun karunia yang berlimpah ruh
Tuhan langit yang kokoh dan pusat
Kekayaan yang maha halus di tengah-tengahnya
Aku memohon kepada-Mu seraya meminta pahala, meski bergelimang dosa
Maka, ampunilah kesalahan pendosa dan manusia lemah ini.




Syair (2)
Dengan dua kaca umurku dipotong
Kepada keduanya juga aku menyandarkan urusanku
Satu kaca penuh dengan tinta
Dan kaca lainya penuh dengan minuman keras
Maka dengan kaca yang satu aku merangkai kebijaksanaanku
Dan dengan kaca lain aku menghilangkan kegundahan hatiku.

















G. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan masalah mengenai Dinasti Abbasiyah maka dapatlah mengambil isi makalah yaitu :
1. Abu Nashr al-Farabi, lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) tahun 870 M. Al Farabi wafat usia 80 tahun di Aleppo pada tahun 950 M.
2. Proses emanasi tersebut yakni, Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua dan. Emanasi menurut Al Farabi seperti munculnya cahaya dengan kata lain memancarkan atau menghasilkan wujud dengan pemikirannya.
3. Menurut Al Farabi, konsep kenabian timbul melalui komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Rosul dan Nabi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari filosof, karena Rosul dan Nabi telah dipilih pemberian dari Tuhan. Sedangkan filosof mengadakan komunikasi atas usahanya sendiri, melalui latihan dan kontemplasi, kemudian komunikasi dapat dilakukan melalui akal, yaitu akal dengan pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki.

H. Saran
Demikian tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan, harapan kami dengan adanya tulisan ini lebih mengenali dan memahami. Khususnya pada mata kuliah sejarah pemikiran Islam bisa memberi wawasan yang lebih luas dan bijak dalam pengetahuan.
Kami sadar dalam makalah ini masih banyak kesalahan dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.



Daftar Pustaka

Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodoligi Sampai Teofilosofi, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008.
Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam, konsep, filsuf, dan ajaranya, Bandung: Cv Pustaka Setia, 2009.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Maftuhkhin, Filsafat Islam , Yogyakarta: Teras, 2012.
Khalid Haddad, ‘Alaamul Fikril ‘Arabi, Darul Kitab al-‘Arabi, Syiriah, Penerjemah, Andri Wijaya, 12 Tokoh Pengubah Dunia, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2013.