BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk memahami tafsir Al Quran tidak semudah apa yang kita fahami karna
keterangan Al Quran sangat singkat dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain
seperti kitab Injil lebih kompleks. Namun teks Al Qur’an tidak akan berubah
oleh campuran tangan manusia, tetapi pemahaman terhadap Al Qur’an tidak tetap,
selalu berubah sesuai dengan kemampuan orang yang memahami isi kandungan, dalam
rangka mengaktualkan dalam bentuk konsep yang bisa dilaksanakan. Umat Islam
mempunyai tugas dan pedoman
dalam menjalankan kehidupan sehari-hari agar senantiasa mendapatkan jalan
keselamatan dan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat. Al-Qurân sebagai petunjuk bagi manusia otomatis sarat
dengan berbagai macam ajaran. Di antara ajaran-ajarannya tertuang dalam
kisah-kisah agar manusia mengambil pelajaran.
Pengungkapan Al-Qurân lebih bersifat global. Artinya, dalam
mengungkapkan suatu peristiwa tertentu Al-Qurân tidak merinci tempat kejadian,
saat kejadian dan nama-nama tokoh yang terlibat serta jalannya pristiwa seperti
kitâb-kitâb terdahulu, yakni Taurat dan Injil juga memuat kisah-kisah seperti
Al-Qurân namun terdapat perbedaan, baik dari segi pengungkapannya maupun gaya
bahasanya.
Kaum muslimin mengakui sepenuh hati bahwa Al-Quran merupakan petunjuk
bagi manusia. Namun demikian diakui juga bahwa tidak semua kaum muslimin secara
lagsung dapat memahami Al-Quran sebagai petunjuk hidup. Oleh karena itu,
bantuan penafsiran dan penakwilan terhadap Al-Quran sangat dibutuhkan. Disini
nampaklah peran mufassirin untuk memberikan penafsiran-penafsiran agar Al-Quran
dapat dipahami dan diamalkan sebagai petunjuk hidup yang aplikatif bagi
manusia.
Pendekatan yang digunakan dalam penafsiran Al-Quran ada dua, yaitu
at-tafsiru bi al-ma’sur dan at tafsiru bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’sur terdiri
dari tiga macam, yaitu Tafsir Al-Quran bi Al-Quran , Tafsir Al-Quran bi
as-sunnah, dan tafsir Al-Quran bi atsar al-shabi. Sedangkan tafsir bi ar ra’yi
dalam penafsiran Al-Quran dengan menggunakan akal atau ijtihad. Masing-masing
memiliki pendekatan memiliki kelemahan dan kelebihan. Salah satu kelemahan yang
dimiliki tafsir yang menggunakan pendekatan al ma‟sur adalah masukknya unsur unsur Isra iliyyat didalamnya.
Term Israiliyyat dalam
tafsir Al-Quran erat sekali hubungannya dengan masyarakat Arab jahiliyyah.
Diantara penduduk arab itu terdapat masyarakat. yahudi yang pertama memasuki
jazirah arab karena adanya desakan dan siksaan dari Titus, Seorang panglima
Romawi, Sekitar tahun 70 Masehi. Hingga saat ini sebagian dari umat muslim
belum banyak mengetahui dan memahami, apa pengertian dan relevansi Israiliyyat terhadap Al-Quran . Hal inilah yang membuat
kami, terinspirasi untuk membuat makalah yang berjudul Isra iliyyat , Selain itu, makalah ini merupakan
tugas dalam mata kuliah studi al-Quran.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah pengertian dan historis Isra iliyyat
?
2. Apa saja kategori Isra iliyyat ?
3. Bagaimana dampak Isra iliyyat
terhadap kesucian ajaran Islam?
4. Bagaimana cara penyusupan Isra iliyyat
ke Dalam Tafsir?
5. Bagaimana hukum periwayatan Isra iliyyat ?
6. Bagaimana Israliyyat dalam Kitâb-kitâb Tafsir?
7. Ada berapa sebab-sebab penggunaan Isra iliyyat ?
8. Apa saja contoh Isra iliyyat?
9. Bagaimana sikap para ulama
tentang kisah-kisah
isra iliyyat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan historis
Isra iliyyat
2. Untuk mengetahui kategori Isra iliyyat
3. Untuk mengetahui dampaknya terhadap
kesucian agama islam
4. Untuk mengetahui cara penyusupan Isra iliyyat
ke Dalam Tafsir
5. Untuk mengetahui hukum periwayatan
Israiliyyat
6. Untuk
mengetahui tentang Isra iliyyat dalam kitâb-kitâb tafsir
7. Untuk mengetahui tentang sebab-sebab
penggunaan Isra iliyyat
8. Untuk mengetahui bentuk contoh
isra iliyyat yang dapat diterima atau tidak
9. Untuk mengetahui sikap ulama
tentang kisah-kisah
isra iliyyat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Historis Israiliyyat
Secara etimologis Kata Isra iliyyat merupakan bentuk jamak dari kata
Israiliyyah nama yang
dinisbahkan kepada kata Israil (Bahasa Ibrani) yang berarti ‘Abdullâh (Hamba
Allâh).[1]
Dalam pengertian lain Isra iliyyat
dinisbatkan kepada Nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim. Terkadang Isra
iliyyat identik dengan yahudi kendati
sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk kepada garis keturunan bangsa,
sedangkan Yahudi merujuk kepada pola pikir termasuk di dalamnya agama dan
dogma.
Secara terminologis, kata Isra iliyyat , kendati pada mulanya hanya
menunjukkan riwayat yang bersumber dari kaum Yahudi, namun pada akhirnya, para
ulama tafsir dan Hadits menggunakan istilah tersebut dalam pengertian yang
lebih luas lagi. Oleh karena itu, ada ulama yang mendefinisikan Isra iliyyat yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap
hal yang berhubungan dengan tafsir maupun Hadits berupa cerita atau
dongeng-dongeng kuno yang dinisbahkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi,
Nasrani atau lainnya.[2]
Dikatakan juga bahwa Isra iliyyat
termasuk dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke
dalam tafsir dan Hadits yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama.
Kisah atau dongeng tersebut sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak akidah
kaum Muslimin.
Namun yang paling popular dari semua hal itu, Israil adalah gelar
Nabi Ya'qub AS. Dengan demikian, Isra iliyyat (Bani Israil) adalah keturunan
Israil atau Nabi Ya'qub AS. Sebagaimana pendapat Ahmad Khalil Arsyad, Isra
iliyyat adalah kisah-kisah yang
diriwayatkan dari Ahl al-Kitab, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka
ataupun tidak.[3]
Dalam pendapat lain dikatakan bahwa agama merupakan pembauran kisah-kisah dari
agama dan kepercayaan non-Islam yang masuk ke Jazirah Arab Islam yang dibawa
oleh orang-orang Yahudi yang semenjak lama berkelana ke arah timur menuju
Babilonia dan sekitarnya, sedangkan Barat menuju Mesir. Setelah berita (akhbar)
keagamaan yang mereka jumpai dari negera-negara yang mereka singgahi. Di antara
cerita-cerita yang termasuk Isra iliyyat itu kisah Gharaniqah, kisah Zainab
binti Jahsy, cerita kapal Nabi Nuh, warna anjing Ashab al-Kahfi, makanan yang
diberikan kepada Maryam. Dajjal dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa sebelum kedatangan agama Islam, ada satu
golongan yang disebut dengan kaum Yahudi, yaitu sekelompok kaum yang dikenal
mempunyai peradaban yang tinggi dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu.
Mereka telah membawa pengetahuan keagamaan berupa cerita-cerita keagamaan dari
kitâb suci mereka.[4]
Problema kehidupan mereka pada saat itu mereka hidup dalam keadaan
tertindas. Banyak di antara mereka yang lari dan pindah ke Jazirah Arab. Ini
terjadi kurang lebih pada tahun 70 M. Pada masa inilah diperkirakan terjadinya
perkembangan besar-besaran kisah-kisah israiliyyah, kemudian mengalami kemajuan
pada taraf tertentu. Disadari atau tidak, terjadilah proses percampuran antara
tradisi bangsa Arab dengan khazanah tradisi Yahudi tersebut.[5]
Dengan kata lain, adanya kisah Isra iliyyat
merupakan konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu
pengetahuan antara bangsa Arab jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.[6]
B. Kategori Isra
iliyyat
Dari segi kandungannya, secara garis besar kisah Isra iliyyat terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, kisah
Isra iliyyat yang benar isinya,
sesuainya dengan Al-Qurân dan Hadits dan tidak bertentangan dengan keduanya.
Kedua, kisah Isra iliyyat yang
bertetangan dengan Al-Qurân dan Hadits. Ini harus dijauhi dan tidak boleh
diriwayatkan kecuali disertai dengan penjelasan mengenai kedustaannya. Ketiga,
kisah Isra iliyyat yang tidak diketahui
benar tidaknya. Yang demikian ini tidak perlu diyakini atau didustakan
keberadaannya, sesuai dengan Hadits Nabi dari Abu Hurairah.
C. Dampak Isra
iliyyat Terhadap Kesucian Ajaran Islam
Adz Dzahabi berpendapat jika Isra iliyyat itu masuk dalam khazanah tafsir al-Quran, ia
dapat menimbulkan dampak negatif sebagai berikut. Pertama, Isra iliyyat akan
merusak aqidah kaum Muslimin, karena ia antara lain mengandung unsur
penyerupaan pada Allâh, peniadaan is}mah para Nabi dan Rasul dari dosa karena
mengandung tuduhan perbuatan buruk yang tidak pantas bagi orang adil, apalagi
sebagai Nabi. Kedua merusak citra agama Islam karena ia mengandung gambaran
seolah-olah Islam agama penuh dengan khurafat dan kebohongan yang tidak ada
sumbernya. Ketiga, ia menghilangkan kepercayaan pada ulama salaf, baik dari
kalangan sahabat maupun tabi’in. keempat, ia dapat memalingkan manusia dari
maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran.
D. Penyusupan Isra
iliyyat ke Dalam Tafsir
Jauh sebelum Islam datang, Isra iliyyat sudah mulai memasuki ke budayaan Arab (pada
masa jahiliyyah), karena di tengah-tengah mereka orang-orang Ahl al-Kitâb
Yahudi telah lama hidup berdampingan. Adanya kisah Isra iliyyat ini merupakan konsekuensi logis dari
akuluturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa Arab jahiliyah dan kaum
Yahudi serta Nasrani.
Di samping itu harus diakui bahwa masyaraka Madinah dan sekitarnya
tempat Islam berkembang termasuk
masyarakat yang heterogen, dengan Yahudi dan Arab sebagai etnis yang paling
dominan. Mereka yang masuk Islam dari kaum Yahudi (suku Bani Qainuqa, suku
Quraizah, suku al-Nazir, suku Khaibar, suku Taima dan suku Fadak) dan Nasrani
serta Majusi masih tetap membawa kesan-kesan kepercayaan agama mereka dahulu,
sehingga dalam memahami Islam tidak jarang mereka menggunakan kacamata
pemahaman mereka dahulu. Di samping itu, bangsa Arab sendiri tidak banyak
mengetahui perihal kitâb-kitâb terdahulu, sehingga ketika mereka ingin
mengetahui tentang penciptaan alam, kejadian-kejadian penting dan sebagainya,
mereka harus bertanya Ahl al-Kitâb dari kalangan Yahudi Nasrani.[7]
Momen inilah yang merupakan pangkal merembesnya paham-paham isirailiyyat ke
dalam Islam.
Ilmu-ilmu seperti dialektika dan kalam (teologi) banyak dipengaruhi
juga oleh Isra iliyyat. Ibn Atsir dalam Taarikh-nya mengabadikan bahwa faham
khalq Al-Qur'ân yang dicemaskan kaum Mu’tazilah berasal dari Bisyr al-Marisiy.
Ia mengambil faham itu dari Jahm ibn Shafwan, Jahm mengadopsinya dari Ja’ad ibn
Dirham, Ja’ad menermimanya dari Abab ibn Sam’an.
Jadi penyusunan Isra iliyyat ke dalam tafsir dapat dikatakan melalui
periode periwayatan dan pengkodifikasinnya. Pada masa periwayatan dari pada
para sahabat dan taib’in tidak terdapat kejanggalan kaerna sahabat mendapatkan
tafsir langsung dari Nabi. Bila timbul persoalan, maka Rasul sendiri yang akan
memberikan jawaban dan solusinya, baik melalui turun wahyu maupun melalui
sabda-sabda yang disampaikannya.
Adapun di masa tabi’in, untuk memecahkan masalah yang dihadapi
dalam bidang keagamaan mendapatkan informasi dari para sahabat melalui
periwayatan dan menjadi murid-murid para sahabat dalam didikan yang
diperolehnya. Namun perseoalannya, tidak semua yang diriwayatkan tabi’in ini
berasal sari Rasul Allâh, melainkan ada yang mauquf di sahabat dan tabi’in. Di
zaman tabi’in inilah mulai muncul pemalsuan dan kebohongan terhadap Hadits dan
tafsir.
Penyusupan Isra iliyyat ini
pada awalnya dikarenakan darurat, betapa pun pada masa sahabat. Mereka membaca
Al-Qur'an yang berisi kisah-kisah, karena isinya hanya ringkas-ringkas saja
sehingga diperlukan penjelasan terperinci dan tidak didapatkannya dari
Rasululah.
Zaman berikutnya muncul periode kodifikasi tafsir dan Hadits, maka
secara tidak disadari Isra iliyyat masuk
ke dalamnya sampai tercampur aduk dan tidak diketahui lagi otentitas riwayat,
mana yang datang dari Nabi dan mana yang datang dari Ahl al-Kitâb. Untuk
mengatasi persoalan itu, para tabi’in menetapkan musnad, dhabaith dan sistem
adalah para perawi, sebagai dijelaskan al-Imam Muslim dalam Mukadimahnya.
لم
يكونوا يسالون
عن السناد فلما وقعت الفتنة
قالوا سموا لنا رجالكم
Artinya:
“Mereka dahulu
belum mempertanyakan tentang isnad, namun setelah terjadinya peristiwa fitnah,
mereka berpendapat: “Namailah untuk kepentingan kita para tokoh kalian” [8]
E. Hukum Periwayatan Isra iliyyat
Dan segi kandungannya, secara garis, Isra iliyyat terbagi menjadi tiga bagian, Pertama, kisah Isra
iliyyat yang benar isinya, sesuai dengan
Al-Qur'ân dan Hadits. Kedua, kisah Isra iliyyat yang bertentangan dengan Al-Qur'ân dan
Hadits. Ketiga, kisah Isra iliyyat yang
tidak diketahui benar tidaknya.
Dan ketiga kategori kisah-kisah israillyat itu, Ibnu Taimiyyah
berpendapat bahwa cerita Isra iliyyat
yang shahih boleh diterima; cerita yang dusta harus ditolak; dan yang
tidak diketahui kebenaran dan kedusataannya didiamkan; tidak didustakan dan
tidak juga dibenarkan; jangan mengimaninya dan jangan pula membohonginya.
Al-Biqa’i berpendapat
bahwa hukum mengutip riwayat dari Bani Israil yang tidak dibenarkan dan tidak
didustakan oleh kitâb Al-Qur'an dibolehkan,
demikian pula dari pemeluk agama lain, karena tujuannya di bolehkan, demikian
pula dari pemeluk agama lain, karena tujuannya hanyalah ingin mengetahui
semata, bukan untuk dijadikan pegangan. Sedangkan menurut Jumhur, Isra iliyyat
, sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits
dapat diterima dan menolak Isra iliyyat
yang bertentangan dengan keduanya. Adapun Isra iliyyat yang tidak diketahui benar tidaknya, bersifat
tawaqquf. Hal ini didasarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.
لَاتُصَدِّقُوْا اَهْلَ اْلكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوْاهُمْ وَقُوْلُوْا اَمَنَّا بِاللهِ
وَمَااُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَا اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ
Artinya:
“Janganlah kamu sekalian membenarkan Ahl al-Kitab dan jangan pula
mendustakannya: ucapkanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada kitab yang di
turunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu”
F. Israliyyat
dalam Kitab-kitab Tafsir
Ada beberapa kitab tafsir
Al-Qur'an yang diduga keras banyak mengambil
cerita-cerita Isra iliyyat .
1. Jami’ al-bayan fi tafsir al-Qur'an
Tafsir ini disusun oleh Ibn Jarir al-Thabariy (224-310 H), seorang
yang terkenal dalam bidang fiqh dan Hadits, di samping ahli tafsir. Kitab tafsir ini termasuk di antara sekian banyak
tafsir yang terpopuler dan menjadi referensi dalam tafsir bi al-ma’tsur terdiri
dari 30 Juz yang masing-masing berjilid tebal. Menurut al-Dzahabi, tafsir karya
al-Thabari ini merupakan tafsir pertama di antara tafsir-tafsir awal yang
pertama pada masa dan ilmunya.
2. Tafsir muqatil
Tafsir ini di susun oleh Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), seorang
yang ahli dalam bidang tafsir. Ia juga banyak mengambil Hadits dari tabi’in
terkenal, seperti Mujahid ibn Jabbar, Atha Ibn Rabbah, Dhahak ibn Mazhahiru dan
Athiyah ibn Sa’id al-Awfi. Namun, menurut sebagian pendapat, ia tidak mengambil
Hadits dari ad-Dhahak, karena Dhahak meninggal 4 tahun sebelum Muqatil
meninggal.
3. Tafsir
al-Kasyaf wa al-Bayân
Penulis tafsir ini Ahmad ibn Ibrahim al-Tsa’labi al-Naisaburiy.
Panggilannya Abu Ishaq yang wafat tahun 427 H Ia menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan Hadits yang bersumber dari ulama
Salaf. Sayangnya, dalam menukil sanad-sanad Hadits, ia tidak mencantumkannya
secara lengkap. Tafsir ini sedikit membahas nahwu dan fiqh, karena ia seorang pemberi nasehat, maka ia
senang terhadap kisah-kisah. Oleh karena itu. Dalam kitab tafsirnya ini banyak cerita-cerita Isra
iliyyat yang janggal dan cenderung
menyimpang dari kebenaran.
4. Tafsir ma’alim al-Tanziil
Tafsir ini ditulis oleh Syaikh Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud
bin Muhammad al-Baghawiy, seorang ahli tafsir dan Hadits serta berfaham
Syafi’i. tafsirnya lebih ringkas kendati banyak berisi cerita Isra iliyyat .
Namun, secara umum, tafsir ini lebih baik dan lebih murni ketimbang kebanyakan
tafsir-tafsir bi al-ma’tsur.
5. Tafsiir lubab al-ta’wiil fi ma’aniy al-tanziil
'Ala' al din al hasan, Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Amr ibn
Khalîl al-Syaibaiy (678-741 H) dikenal
penulis dari tafsir al-Lubab ini. Sebagai seorang sufi yang senang memberi
nasehat, maka tidak heran jika senang bercerita. Ia juga dikenal sebagai khazin
(penjaga kitâb-kitâb Samisatiyah) di Damaskus, sehingga bacaannya akan
kitâb-kitâb tersebut mempengaruhi tulisan tafsirnya.
G. Sebab-sebab
Penggunaan Isra iliyyat
Sebenarnya cara merembesnya cerita-cerita Isra iliyyat ke dalam tafsir dan Hadits didahului oleh
masuknya kebudayaan Arab zaman jahiliyyah. Pada waktu itu hidup di
tengah-tengah orang Arab segolongan Ahli Kitâb, yaitu kaum Yahudi yang pindah
ke Jazirah Arab sejak dahulu. Perpindahan itu terjadi secara besar-besaran pada
tahun 70 M. Mereka lari dari ancaman dan siksaan yang datang dari Titus (Lihat
Kitâb Al-Yahudi fi Biladil Arab, oleh Israil Alfansi, hal. 9; dan Al-Arab
Qablal Islam oleh Jawat Ali, Jilid 6 hal. 24; serta Banu Israil min Asfarihim
oleh Muhammad Izzat Darwazah.
Tafsir dan Hadits, keduanya sangat terpengaruh oleh kebudayaan Ahli
Kitab yang berisikan cerita-cerita palsu dan
bohong. Isra iliyyat juga mempunyai
pengaruh yang buruk ia diterima oleh masyarakat umum dengan kecintaanyang
jelas. Ia dituliskan pula oleh sebagian cendikiawan dengan mudah, sehingga
kadangkala ia sampai pada keadaan diterima walaupun jelas lemah dan terang
bohongnya. Padahal itu semua merupakan hal yang akan merusak akidah sebagian
besar kaum Muslimin, serta menjadikan Islam dalam pandangan musuh-musuhnya
sebagai agama yang penuh khurafat dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Menyusupnya cerita Isra iliyyat
ke dalam tafsir dan Hadits secara meluas itu karena telah diketahui oleh
para ulama, bahwa tafsir dan Hadits itu memilki dua periode yang berbeda.
Pertama, periode periwayatan, dan kedua, periode pembukuan.
1. Periode
Periwayatan tafsir
Rasulullâh bergaul dengan para sahabatnya dan memberi penjelasan
kepada mereka tentang urusan agama dan dunia dianggap penting oleh mereka atau
dianggap penting oleh Nabi. Penjelasan Nabi itu mencakup juga tafsir-tafsir
ayat Quran yang dianggap masih samar oleh para sahabatnya.
Para sahabat, memperhatikan dan menghafal penjelasan Nabi tersebut,
kemudian mereka menyampaikannya kepada saudara-saudaranya yang tidak hadir
dalam majelis Nabi dan juga kepada murid-muridnya sampai kepada tabi’in. para
tabi’in meriwayatkan apa yang mereka terima dari pada sahabat kepada tabi’in
lainnya, dan juga mereka menyampaikan kepada para muridnya sampai generasi
tabi’it-tabi’in.
Pada periode tabi’in banyak Hadits-Hadits palsu, kedustaan dan
kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullâh tersebar, (dianggap dari Rasul,
padahal bukan). Dan karena itu mereka tidak menerima suatu Hadits, kecuali
apabila Hadits itu Hadits musnad dan yakin akan keadilan perawinya dan kekuatan
hafalannya.
2. Periode
pembukuan tafsir
Periode ini dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad kedua
Hijriyah. Awal dari pembukaan tafsir dan Hadits adalah satu, ketika Umar bin
Abdul Aziz, memerintahkan semua ulama di seluruh dunia untuk mengumpulkan
Hadits-Hadits rasul yang menurut anggapan mereka sama. Para ulama tersebut
bekerja dengan sungguh-sungguh. Di antara mereka ada yang berkeliling ke
negara-negara yang berbeda untuk mengumpulkan Hadits Rasulullâh. Termasuk ke
dalam tugas lingkup ini, segala yang berpengaruh terhadap tafsir dan segala
keterangan dari para sahabat dan tabi’in. apa yang mereka kumpulkan tersebut
kemudian dibukukan menjadi bermacam-macam bab yang bervariasi, dan tafsir
merupakan salah satu bab dari bab-bab tersebut.
Jadi, jelaslah dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tafsir Hadits sudah melekat pada keduanya, dua
periode yang sangat jelas, yaitu periode periwayatan dan periode pembukuan.
Hanya saja tafsir bil-Mansur tidak bisa dilepaskan keadaanya dari Hadits.
2. Semua faktor yang melemahkan pada kedua
periode itu yang menimpa tafsir pada hakikatnya menimpa Hadits pula.
3. Segala cerita-cerita yang bohong dan batil
yang tercampur dengan tafsir, juga terjadi pada Hadits, orang-orang yang
mempunyai maksud buruk dan jahat membuat Hadits-Hadits yang dinisbahkan kepada
Rasulullâh. Banyak di antara Hadits tersebut yang dinisbahkan kepada tafsir,
dijadikan landasan dan pegangan oleh orang-orang yang tersesat dan tertipu.
Sesungguhnya bahaya cerita-cerita Isra iliyyat, sebagaimana telah
kita kemukakan di atas, telah menyusup ke dalam tafsir dan Hadits secara
berangsung-angsur melalui periwayatan dan pembukuan.
3. Periode
periwayatan Hadits
Pada periode ini cerita Isra iliyyat merembes ke dalam tafsir dan
Hadits atau dalam waktu yang sama secara berbarengan. Hal ini terjadi karena
pada mulanya tafsir dan Hadits merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Masalah ini terjadi pada zaman sahabat. Mereka membaca Quran yang
di dalamnya terdapat kisah-kisah dan berita-berita. Mereka melihat, bahwa Quran
menceritakan kisah tersebut hanyalah dalam batas nasihat dan ibarah. Apa yang
terperinci mereka satukan, dan apa yang global mereka uraikan sesuai dengan
pengetahuan mereka. Hal ini terjadi, dalam kondisi mereka berdekatan dengan
para ahli kitâb, dan juga masuk ke dalam Islam sekelompok orang dari mereka.
4. Periode
pembukaan Hadits
Pada periode ini, sebagaimana telah kita ketahui, Hadits dibukukan
dengan bantuan ilmu lain yang bermacam-macam, dan tafsir pun termasuk salah
satu bagian daripadanya. Pada mulanya riwyat Mansur itu dikemukakan dengan
terang sanad-sanadnya. Secara umum tafsir pada masa ini bersih dari
cerita-cerita Isra iliyyat , kecuali sedikit saja, itu pun tidak bertentangan
dengan nas syar’i. sbagian dari cerita tersebut ada yang diriwayatkan dari
Rasulullâh melalui riwayat yang shahih, seperti Hadits-Hadits tentang Bani
Israil yang terdapat dalam Shahih Bukhari mau pun kitâb-kitâb Hadits senada
lainnya.
H. Tokoh Isra Iliyyat beserta contohnya
1. Tokoh-Tokoh Periwayat Israiliyat yaitu:
a). Abdullah bin Salam
Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Abdullah bin Salam bin Harist
Al-Israil Al-Anshari beliau mempunyai ilmu pengetahuan yang paling alim
dikalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk islam maupun sesudah masuk
islam. Kitab-kitab tafsir banyak memuat riwayat-riwayat
yang disandarkan kepada beliau diantaranya Tafsir Ath-Thabari.
b). Ka’ab
Al-Akhbar
Nama lengkap beliau adalah Abu Ishaq Ka’ab bin
Mani Al-Hindiari. Beliau berasal dari Yahudi Yaman dari keluarga Ziraim.
c). Wahab bin Munabbih
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Wahab bin Munabbih bin Sij Zinas
Al-Yamani Ash-Sha’ni lahir pada tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia yang
migrasi ke negeri Yaman dan meninggal pada tahun 110 H.
d). Abdul Malik
bin Abdul Aziz bin Juraij
Beliau adalah
orang Nasrani, orang pengarang pertama kitab di Hijaz. Beliau adalah tokoh
israiliyat pada masa tabi’in. Apabila kita melihat dalam kitab Tafsir
Ath-Thabari, yaitu ayat-ayat tentang Nasrani, maka riwayat israiliyat tersebut
banyak diriwayatkan oleh Ibnu Juraij.
Para ulama berbeda pendapat dalam
mengakui dan mempercayai Ahli Kitab tersebut, ada yang menolak dan ada yang
menerimanya. Perbedaan pendapat paling besar adalah mengenai Ka’ab Al-Akhbar.
Sedangkan Abdullah bin Salam adalah orang yang pandai dan paling tinggi
kedudukannya. Karena itu Bukhari dan Ahli hadits lainnya memegangi dan
mempercayainya. Di samping itu kepadanya tidak dituduhkan hal-hal yang bersifat
buruk seperti yang dituduhkan pada Ka’ab Al-Akhbar dan Wahab ibn Munabbih.[9]
2. Ada tiga contoh isra iliyyat sebagai berikut:
a). Isra iliyyat yang bisa diterima oleh umat Islam maupun tidak
(meragukan).
Beberapa contoh isra iliyyat banyak kita jumpai, misalnya dalam tafsir Al
Thabariy. Sebagai contoh ayat yang mengabdikan kisah penyembelihan yang
dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s dalam Q.S Al Shafat: 102.
فَلَمَّا بَلَخَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي
الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ
مَاتُؤْمَرَ سَتَجِدُنِي إِنْشَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ
Artinya:
Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama dengan Nabi Ibrahim, Nabi
Ibrahim berkata: Hai anaku, sesungguhnya aku melhat dalam mimpi aku
menyembelihmu. Pikirkanlah apa padamu?” Ia menjawab, “wahai Bapaku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu, Insyallah kamu akan mendapatkanku termasuk
orang-orang yang sabar.” (Al Shafat: 102).
Kunci persoalan yang sering menjadi perdebatan para ulama berkaitan dengan
tema ini adalah uraian tentang siapa sebenarnya yang disembelih pada ayat
diatas. Sebagaian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud itu adalah Ismail puta
Nabi Ibrahim a.s dari Siti Hajar. Sebagian para ulama berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah Ishaq a.s putranya dari Siti Sarah. Pendapat terakhir menurut
Ibnu Katsir dan mufasir lainya berasal dari isra iliyyat. Karena sumber
tafsiran ini berasal dari keinginan mengangkat nenek moyang bangsa Yahudi yaitu
Ishaq a.s. bahkan menurut Ibnu Katsir lagi, pendapat mereka itu bertentangan
dengan sumber-sumber ahli mereka.[10]
b). Isra iliyyat yang bisa diterima oleh umat Islam.
Di antara isra iliyyat yang mewarnai tafsir ada juga yang sejalan dengan Al
Quran, tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan isra iliyyat yang
bertentangan dengan Al Quran. Yang sejalan dengan Al Quran antara lain isra
iliyyat tentang firman Allah Q.S Al
A’raf: 157, yang dikutip oleh Ibnu Katsir, yaitu:
ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ
ٱلنَّبِىَّ ٱلۡأُمِّىَّ ٱلَّذِى يَجِدُونَهُ ۥ مَكۡتُوبًا عِندَهُمۡ فِى ٱلتَّوۡرَٮٰةِ
وَٱلۡإِنجِيلِ يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡہَٮٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنڪَرِ
وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَـٰتِ
Artinya:
Yaitu orang-orang yang
mengikuti Rasul, Nabi Ummi yang (namanya) merka dapati di dalam Taurat dan
Injil yang berada di sisi mereka Nabi yang menyuruh mreka mengerjakan perbuatan
ma’ruf dan melanggar perbuatan munkar serta menghalalkan bagi mereka segala
yang baik (Al A’raf: 157).
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip isra iliyyat yang
disampaikan oleh Al Mutsannah dari Utsman bin Umar dari Fulaih dari Hilal bin
Yasar, Ia berkata: “Aku bertemu dengan Abdullah bin ‘Amr bin Ash dan bertanya
kepadanya, ceritakan olehmu kepadaku tentang sifat Rasulullah SAW yang
diterangkan dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam Al Quran: Wahai
Nabi sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi
peringatan dan pemelihara yang ummi, engkau adalah hamba-Ku, namamu dikagumi,
engkau tidak kasar tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut namamu sebelum
agama Islam tegak lurus, yaitu sebelum diucapkan tiada Tuhan yang patut
disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah dengan perantaraan engkau pula
Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli, dan membuka
mata yang buta”
Ibnu Katsir mengaitkan isra iliyyat itu dengan pernyataan bahwa Imam
Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Shahihnya yang diterima dari Muhammad
bin Sinan dari Fulaih, dari Hilal bin Ali dengan tambahan redaksinya berbunyi,
“dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar, Nabi tidak pernah membalas keburukan
dengan keburukan, tetapi ia senantiasa mempunyai sifat pemaaf”. Keberadaan isra
iliyyat itu dalam Shahih Bukhari menunjukan bahwa kualitas sanadnya shahih.[11]
c). Isra iliyyat yang tidak bisa diterima oleh umat Islam.
Demikian pula isra iliyyat ada yang memiliki kualifikasi tidak dapat
diterima dan tidak pula dapat didustakan kebenaranya, contohnya tentang
kenaikan Isa Al Masih Q.S An Nisa: 158 sebagai berikut:
بَل رَّفَعَهُ ٱللَّهُ
إِلَيۡهِ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمً۬ا
Artinya:
Tetapi (yang sebenarnya)
Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya dan adalah maha pengasih lagi maha
bijaksana. ( Al Nisa: 158)
Al Quran memang tidak membahas secara terperinci bagaimana proses
penyerupaan dan kenaikan Isa a.s sehingga persoalan ini kerap kali menjadi
bahan kontroversi di kalangan umat Islam. Umpamanya masih diperselisihkan
apakah yang diserupakan dengan itu, kemudian yang dibunuh oleh orang-orang Yahudi
hanya satu orang atau semua sahabatnya yang ketika kejadian itu berlangsung
berada dirumah denganya. Bila uraian tentang hal itu sudah bisa dipatikan
bersumber pada isra iliyyat.[12]
I. Sikap Ulama tentang
Kisah-kisah Israiliyat
Para ulama terutama ulama ahli tafsir berbeda
pendapat dalam menyikapi berita-berita israiliyat, mereka terbagi menjadi Empat
kelompok:
a). Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan
kisah-kisah ini dengan menyebutkan sanad-sanadnya dan berpandangan bahwa dengan
menyebutkan sanad-sanadnya maka telah gugur tanggung jawabnya. Di antara mereka
adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullaahu.
b). Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan
kisah-kisah israiliyat dan kebanyakan tanpa menyertakan sanadnya, maka ibarat
(mereka) adalah pencari kayu bakar di malam hari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaahu
berkomentar tentang kitab Tafsir Al-Baghawi rahimahullaahu: “Itu adalah
ringkasan dari Tafsir Ats-Tsa’labi, hanya saja Al-Baghawi menjaga tafsirnya
dari hadits-hadits maudhu’ (palsu) dan pemikiran-pemikiran yang bid’ah.”
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâhu mengomentari tentang
Tsa’labi bahwa dia adalah pencari kayu bakar di malam hari karena Tsa’labi
menukilkan semua yang dia dapati dari kitab-kitab tafsir baik shahih, dha’if
ataupun maudhu.
c). Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan
kisah-kisah ini lalu ada ulama yang mengkritik sebagian riwayatnya bahwa itu
dhaif atau mungkar. Contohnya Ibnu Katsir.
d). Di antara mereka ada yang berlebihan dalam menolak
kisah-kisah israiliyat dan sama sekali tidak menyebutkan dalam kitab tafsir
Al-Qur’an-nya. Contohnya Muhammad Rasyid Ridha.
BAB III
ANALISIS
A. Isra
Iliyyat dalam Tafsir Al Quran
Kitab tafsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Syaikh Ibnu Katsir telah
menjadi rujukan penting para pengkaji ilmu al-Qur’an hingga saat ini. Kekuatannya
terletak pada penjelasannya yang dilengkapi dengan hadis-hadis dan
riwayat-riwayat yang masyhur. Ia sangat
ketat menyeleksi riwayat-riwayat yang diragukan kesahihannya.
Kota Damaskus pada waktu itu menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan. Kota
ini menjadi pusat perhatian para pencari ilmu dan ulama. Banyak sekali ulama’
yang memiliki otoritas tinggi yang mengajar di kota Damaskus. Di sinilah Ibnu
Katsir mendalami ilmu agama. Saudara laki-lakinya, Abdul Wahab, setia
mendampingi Ibnu Katsir belajar. Ia sudah seperti ayahnya sendiri, menghidupi
dan mengajari. Abdul Wahab merupakan guru pertamanya Ibnu Katsir, sebelum Ibnu
Katsir belajar ilmu agama kepada para Syaikh.
Para murid dan ulama’ Damaskus mengenal Ibnu Katsir sebagai ilmuan yang
memiliki kelebihan menghafal dengan kuat. Salah satu muridnya, Ibnu Hijjiy
mengatakan : “Ibnu Katsir adalah orang yang paling kuat hafalan hadisnya yang
saya kenal. Paling tahu tentang ilmu Jarh wa Ta’dil dan kesahihan sebuah
hadis”.
Hal senada juga disampaikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata
bahwa beliau adalah seorang yang disibukkan dengan hadits, menelaah matan-matan
dan perawinya, ingatannya sangat kuat, pandai membahas, kehidupannya dipenuhi
dengan menulis kitab, dan setelah wafatnya manusia masih dapat mengambil
manfa’at yang sangat banyak dari karya-karyanya.
Ia juga terkenal ahli mengungkapkan dan mengolah berbagai macam materi dari sejumlah teks
menjadi buah karya yang orisinil. Teks-teks kitab dari berbagai macam ilmu ia
hafal di luar kepala. Kemudia dituangkan dalam bentuk tulisan, bukan sekedar
memindah tapi mengolahknya menjadi karya yang berbobot, dan memiliki kekhasan.
Ilmu yang menjadi perhatian adalah tafsir dan hadis. Ia dikenal
sangat hati-hati mengeluarkan hadis. Sehingga kitab hadisnya unggul di bidang
kekuatan hadisnya. menghindarkan pengulangan, memperbaiki penjelasan,
menjauhkan hadis-hadis dhaif (lemah) dan maudhu’, serta menghapus kisah-kisah
Israiliyat (bersumber dari Yahudi dan diragukan kebenarannya). Di samping itu,
juga membersihkan konsep-konsep yang berbau khurafat, menjelaskan pembahasan
sekaligus tujuannya melalui beberapa ulasan yang menonjolkan akidah. Karena itu
Tafsir Ibnu Katsir disebut-sebut sebagai yang terbaik di antara tafsir yang ada
pada zaman ini.
Berkaitan dengan masalah israiliyyat yang terdapat pada al-Qur’an
dan al-Hadits Ibnu Katsir mengingatkan agar hati-hati menggunakan kisah
israiliyyat dan riwayat-riwayat lemah dalam menafsirkan al-Qur’an. Kadang
beliau juga menngutip kisah yang tidak bermasalah karena sudah masuk dalam
riwayat-riwayat Islam. Dan beliau juga menjelaskan tentang israiliyyat yang
tidak bisa dipercaya. Kehati-hatian menerima riwayat ini karena beliau memang
pakar hadis yang cukup selektif. Ilmu ini ia peroleh dari gurunya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Ia belajar kepada Ibnu Taimiyah bersama Ibnu Qoyyim dan
al-Dzahabi.
Karakter lainnya dari Tafsir Ibnu Katsir adalah tafsirnya juga
dilengkapi penjelasan hukum-hukum fikih dengan menyebut dalil para ulama’,
mendasarkan kepada kaidah bahasa Arab dan Syair, menyebutkan pemikiran
tokoh-tokoh ahli hadis dan ahli-ahli lainnya.
B. Aktualisasi Materi Israiliyyat dalam
Pendidikan
Perlu diketahui bahwa kisah-kisah Isra iliyyat terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, yang
sesuai dengan syariat kita. Kedua, yang bertentangan dengan syariat dan ketiga
yang didiamkan (maksud anhu), yakni tidak terdapat di dalam yang menyatakan
tidak ada manfaatnya. Adapun Jika dilihat dari sudut sahih dan tidaknya, kisah Isra
iliyyat terbagi pada kisah yang sahih
dan kisah yang dhaif (termasuk dhaif yang maudhu’).
Implementasi dari kisah-kisah Israiliyyat dalam dunia pendidikan
islam terutama dalam lembaga pendidikan dasar Islam. Tentunya dari analisis
diatas dapat menjadikan cerminan terhadap kita sebagai kaum terpelajar(baca:
intelektual) diarahkan untuk lebih berhati-hati dalam memanfaatkan materi ajar
kepada peserta didik terkait riwayat kisah-kisah israiliyyat yang masuk dalam
tafsir al-Qur’an maupun Hadits. Karena didalam kisah-kisah tersebut banyak
mengandung riwayat-riwayat lemah yang perlu mendapatkan penelitian terlebih
dahulu. Begitu pula tidak menutup kemungkinan sebagian daripada kisah-kisah israiliyyat
juga ada yang valid/shahih. Maka dari itu, selektifitas sebelum pemanfaatan
sangat ditekankan guna menyelamatkan generasi-generasi Islam dari kisah-kisah
palsu yang digulirkan oleh kaum yahudi melalui penyusupannya dalam menafsirkan
al-Qur;an dan hadits.
BAB IIV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari uraian terdahulu dapat di tarik kesimpulan:
Pertama, kisah Isra iliyyat adalah kisah-kisah yang sebagian besar
bersumber dari orang-orang Yahudi baik disadari atau tidak, yang telah menyusup
kedalam khazanah Tafsir Al-Qurân dan Hadits
Kedua latar belakang timbulnya Isra iliyyat adalah semakin banyaknya orang-orang Yahudi
atau ahli kitâb yang masuk Islam, adanya keinginan sebagian dari kaum muslimin
untuk mengetahui ihwal orang-orang yahudi yang mempunyai peradaban tinggi di
banding kaum muslimin di jazirah arab pada watku itu.
Ketiga Isra iliyyat
mempunyai dampak negatif terhadap penafsiran al-Qur'ân ia dapat merusak
citra agama islam, merusak aqidah muslim dan memalingkan kaum muslimin dari
ajaran al-Qur'ân dan sunnah.
B. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Semoga bermanfaat bagi
kita semua khususnya bagi pembacanya. Tidak lupa kritik dan saran sangat kami
nantikan guna perbaikan selanjutnya. Dan terdapatnya kesalahan dalam penulisan
dan penyampaian karena lemah dan kurangnya pengetahuan kami, dan apabila ada
kebenaran semata-mata hanya dari Allah SWT.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad,
Syadali, Ahmad Rafi’i, Ulumul Quran I, (Bandung, CV.
Pustaka Setia), 1997.
Chirzin, Muhammad, Al-Qurân dan Ulumul Quran, (Yogyakarta, PT Dana
Bhakti Primayasa), 1998.
Al-Khuli, Amin, Manhajut Tajaad fit Tafsir, (Kairo, Darul Ma’arif), 1961.
Goldziher,Ignaz, Madzahib at-Tafsir Al-Islami, (Kairo, As Sunnah Al-Muhammadiyah), 1995.
Hermawan Acep, Ulumul Quran, Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya), 2011.
Husein, Muhammad al-Khalaf, al-Yahudiyyah bayna al-Masihiyyah wa
al-Islam, (Mesir, al-Muassasah al-Mishriyyah), 1962.
Khalîl, Ahmad Arsyad, Dirash fi Al-Qur'ân, Mesir, (Dar al-Ma’arif),
1972.
Manna ‘Khalîl Al-Qaththân , Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, (Jakarta,
Litera Antar Nusa), 1996.
Shihab M. Quraish,
Membumikan Al-Quran, (Bandung, MIzan), 1995.
Soetopo, Hukum Perbahruan, Bidang hukum kerja ,( Jakarta: Jambatan),
2010.
Sulistiyani, Ambar T. Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia: Konsep,
Teori, dan Pengembangan dalam konteks Organisasi Publik, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2003.
Supiana dan M.
Karman, Ulum Quran, (Bandung,
Pustaka Islamika), 2002.
Syubbah, Muhammad Abu, al-Isra iliyyat
wa al-Mawdhu at fii Kutub al-Tafsir, (Kairo, Maktabah al-Sunnah),
1408.
Winardi, Manajemen Prilaku, ( Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti),
1992.
[1]Muhammad
Husein al-Khalaf, al-Yahudiyyah bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, (Mesir:
al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962), 14.
[2]Muhammad Husein
al-Dzahabi. Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-hadits, cet.IV.(Kairo Maktabah
Wahhab,tt), 13.
[3]Ahmad Khalil Arsyad, Dirash fi
Alquran, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), 15.
[4]Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu Al-Quran, terjemah Mudzakir AS (Jakarta: Litera Antar Nusa,
1996), 42.
[6]M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: MIzan, 1995), 46.
[7] Muhammad Abu Syubbah, al-Isrâiliyyat wa al-Mawdhu' at fil Kutub
al-Tafsir, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408), 11.
[9]Manna, Qaththan,Studi
Ilmu-Ilmu AL-Qur’an. Terjemah Mudzakkir ,(
Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa,1996), 493.
[10]Acep Hermawan, Ulumul Quran, Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar