Sabtu, 17 Juni 2017

Al Farabi: Teori Emanasi dan Falsafah Kenabian



A.  Pendahuluan
Tokoh muslim pertama yang dikenal di bidang pemikiran filsafat adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak al-Sabah al-Kindi (796- 873 M).[1] Selain filusuf, lelaki berdarah Arab ini dikenal juga sebagai seorang tabib dan astronom terkemuka. Ia merupakan salah satu tokoh pelopor dalam penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani maupun India kedalam bahasa Arab. Al-Kindi telah meletakkan dasar-dasar Filsafat Islam.
         Kemudian datanglah pada zaman berikutnya Abu Nashr al-Farabi. Ia memperkokoh dan memantapkan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh al-Kindi. Orang Arab menamakan al-Farabi guru kedua (المعلم الثاني ), karena mereka memandang Aristoteles sebagai guru pertama (  المعلم الاول). Dalam tulisan-tulisannya, kerangka pemikirannya cenderung berusaha memadukan corak filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme dengan pemikiran keislaman mazhab Syiah Imamiyah. Ia percaya, seperti halnya al-Razi, bahwa akal merupakan akses utama untuk mencapai kebenaran.
Para ahli sejarah tidak ada yang menyebutkan sejarah masa kecil dan mudah Al Farabi, karena hanya sedikit sekali orang yang mempelajari sejarah hidupnya. Hal yang sering diketahui ia sering berpergan dan pindah-pindah tempat. Adapun rute perjalanan yang disebutkan hanya ketika Al Farabi berusia lima puluh tahun, yaitu ketika ia pergi ke Baghdad pada tahun 310 H/922 M untuk mengikuti jejak para ulama dan peneliti.[2]
Ada kisah yang menyebutkan bahwa Al Farabi membaca salah satu buku Aristoteles sebanyak seratus kali dan buku lainya empat puluh kali, seraya menambahkan Al Farabi masih tetap merasa perlu untuk terus mengulang bacaanya lagi. Al Farabi menulis sebagian buku-bukunya sewaktu ia tinggal di Baghdad selama hampir dua puluh tahun, yaitu masa-masa penting kematangan pemikiran dan keilmuanya.[3]
Pemikiran-pemikiran al-Fārābi tentang emanasi الفيض ), filsafat jiwa النفس ), filsafat kenabian, dan teori politiknya  المدينة الفاضلة) adalah merupakan sumbangan pemikiran beliau terhadap pemikiran filsafat di dunia islam. Terlepas dari bantahan-bantahan yang diutarakan oleh Al-Ghazali terhadap pemikiran-pemikiran al-Fārābi, namun yang jelas adalah al-Fārābi adalah   seorang pemikir muslim yang banyak menyumbangkan buah pikiran yang cemerlang terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, terutama didunia Islam.

B. Riwayat Hidup
Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan, sebutan al Farabi diambil nama kota Arab. Ia lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) tahun 870 M. Bahkan menurut keterangan Farabi berasal dari Turki dan orang tuanya adalah seorang Jenderal. Pendidikan dasar al Farabi dari dasar-dasar ilmu Agama dan bahasa.[4] Ia juga mempelajari ilmu matematika dan filsafat serta melakukan pengembara sejak muda hingga dewaa, demi mendapatkan ilmu.
Menurut keterangan ia pernah menjadi hakim. Dari Farab ia kemudian pindah ke baghdad yang terkenal pusat ilmu pada waktu itu. Disana ia berguru dengan Abu Bisr Matta ibn Yunus (penerjemah) dan tinggal di baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo tinggal di istanah Saif al Daulah, karna ingin memfokuskan ilmu pengetahuan dan filsafat. Istana Saif al Daulah adalah tempat pertemuan ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu. Al Farabi wafat usia 80 tahun di Aleppo pada tahun 950 M.
Menurut Massignon, orientalis Prancis, Al Farabai adalah seorang filosof Islam yang pertama dengan sepenuh arti kata. Sebelum dia Al Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Akan tetapi ia tidak menciptakan sistem filsafat tertentu, sedangkan persoalan-persoalan yang dibicarakan masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya, Al Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap dan memainkan peranan yang paling penting dalam dunia Islam seperti peranan yang dimiliki oleh Plotinus bagi dunia Barat. Begitu juga Al Farabi menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filosof-filosof Islam lain yang datang sesudahnya. Oleh karena itu, ia mendapat gelar guru kedua (al-mu’allim ats-tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapatka gelar guru pertama (al-mu’allim al-awwal).[5]


C. Karya-karya Al Farabi
Al farabi meninggalkan banyak karya tulis, menurut penelitian setidaknya ada 119 buah karya tulis namun sayangnya hilang atau belum dipublikasikan, dan yang masih dapat dibaca baik yang sampai pada kita maupun yang tidak kurang lebih 30 judul.[6] Diantara judul karyanya adalah sebagai berikut:
1.      Al Jam’u baina Ra’yay Al Hakimain Aflathun wa Aristhu
2.      Tahqiq Ghardh Aristu fi kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah
3.      Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al Yunani
4.      At-Ta’liqat
5.      Kitab Tahshil As-Sa’adah
6.      Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qobal Ta’allumi Al-Falsafah
7.      Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah
8.      ‘Uyun Al-Masa ‘il
9.      Ara ‘Ahl Al-Madinah Al-Fadilah
10.  Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita
11.  Maqalat fi Ma’ani Al-Aql
12.  Fushul Al-Hukm
13.  Risalah Al-Aql
14.  As-Siyasah Al-Madaniyah
15.  Al Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibah Anha.
Secara garis besar karya-karya Farabi dapat dikelompokan dalam beberapa tema.[7] Yaitu, logika, fisika, matematika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan lainya.
Al farabi berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan atau pelajari ketangan orang awam. Karna itu filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat atau filsafat mereka dalam gaya bahasa yang samar, agar tidak diketahui oleh sembarangan orang. Dengan demikian iman serta keyakina tidak menjadi kacau. Farabi juga berpendapat bahwa filsafat dan agama bisa membawa kebenaran, jadi tidak bertentangan, malah sama-sama membawa pada kebenaran.[8]

D. Filsafat Emanasi
Emanasi ialah teori tentang keluarnya suatu wujud. Filsafat emanasi Al-Farabi menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi Al-Farabi.[9]
Proses emanasi tersebut yakni, Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama, dan dari pemikiran ini timbulah wujud ketiga, yang disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama. Maksudnya, wujud-wujud yang muncul tersebut tidak berada pada derajat yang sama tetapi bertingkat-tingkat, dimana wujud yang keluar kelib dahulu dan dekat dengan sebab pertama dianggap lebih mulia dibanding wujud-wujud lain yang baru muncul kemudian, dan begitu seterusnya. Semkin jauh dari sebab pertama berati semakin rendah nilai dan posisinya.[10]
Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neoplatonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak bisa didapatkan hakekatnya yang sebenarnya. Akan tetapi, Al Farabi dapat menguraikannya secara ilmiah, dan ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan, karna Tuhan mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.[11]
Akan lebih jelasnya lagi lewat pertanyaan, bagaimana cara terjadinya emanasi tersebut? Seperti halnya dengan Plotinus, Al Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa. Oleh karena itu, yang keluar dari pada-Nya juga suatu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari Zat Tuhan itu berbilang, berati Zat Tuhan itu pun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujud-Nya.[12]
Wujud yang pertama keluar dari Tuhan disebut akal pertama, yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakekatnya sendiri yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagai Zat yang menjadikan. Jadi, meskipun akal pertama tersebut satu (tunggal), pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi objek pemikiranya. Dengan adanya segi-segi ini, dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.
Dalam teori emanasi ini  Tuhan dilukiskan   sebagai yang  sama sekali Esa dan karenanya tidak bisa didefinisikan. Menurutnya,  definisi hanya akan menisbatkan batasan  dan  susunan kepada Tuhan yang itu mustahil bagi-Nya.  Tuhan  itu adalah substansi yang azali,  akal murni  yang  berfikir  dan  sekaligus difikirkan.  Ia    adalah aql, aqil dan ma’qul sekaligus.
Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan benda-benda langit lainnya, yaitu: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus; Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter; Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars; Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari; Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus; Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri; Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan; dan Akal X menghasilkan  Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok : air, udara, api dan tanah.[13]
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui pada zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Begitulah alam semesta tercipta  dalam filsafat emanasi Al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak itu, tetapi melalui Akal-Akal dalam rangkaian emanasi. Dengan demikian dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak dan Tuhan juga tidak langsung berhubungan dengan yang banyak. Inilah tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi dan filsuf-filsuf muslim berikutnya yang menganut faham emanasi. Implikasi logis dari faham emanasi ini adalah pendapat bahwa alam diciptakan bukan dari tiada atau nihil (creatio ex nihilo) sebagaimana sebelumnya masih diterima oleh al-Kindi, tetapi dari sesuatu materi asal yang sudah ada sebelumnya yaitu api, udara, air dan tanah. Materi asal itupun bukannya timbul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh pemikiran Tuhan.
            Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan befikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim.
            Dengan dasar inilah  menurut al-Farabi, bahwa alam materi ini ada bukan karena diadakan oleh Allah dengan cara penciptaan, tapi alam ini bisa ada karena proses emanasi atau pemancaran. Hal tersebut menurutnya karena beberapa alasan: (1). Proses penciptaan itu mengharuskan perubahan pada zat pencipta, dan hal itu mustahil pada Allah (2). Proses penciptaan akan mengharuskan keterkaitan yang abadi antara yang mencipta dan yang diciptakan  , sementara itu tidak mungkin terjadi, dan (3). Allah itu Maha Esa dari segala segi, makanya tidak akan muncul sesuatu dariNya kecuali satu. Dengan alasan-alasan inilah al-Farabi telah memaksakan teorinya bahwa alam ini ada bukan karena diadakan oleh Allah dengan cara penciptaan akan tetapi itu merupakan "proses munculnya yang banyak dari Yang Satu dengan tetap terpeliharanya wujud yang Satu ini dengan ke-Esaan-Nya dan Kesempurnaan-Nya.
Mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh? Karna disesuaikan bilangan bintang yang berjumlah sembilan, yang tiap-tiap akal diperlukan satu planet, kecuali akal pertama yang tidak disertai suatu planet ketika keluar dari Tuhan. Akan tetapi mengapa jumlah bintang ada sembilan? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian Al Farabi menambah dua, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap , yang diambil dari Ptolomey seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad kedua Masehi.[14]
Jadi ada 10 akal dan 9 langit ( teori Yunani tentang 9 langit) yang kekal berputar sekeliling bumi. Tentang qidam (tidak bermula) atau barunya alam, Al Farabi, mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut Al Farabi, alam ini terjadi dengan tak permulaan dalam waktu, yaitu tidak secara terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus tak berwaktu.
Tidak jelas apa yang dimaksud Al Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi Al Farabi alam ini baru. Tetapi De Boer mengartikan alam bagi Al Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan memancar itu terjadi dari qidam.

E. Falsafat Kenabian
Filosof-filosof dapat mencapai hakekat-hakekat karena melalui komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Begitupun Nabi dan Rosul, dapat menerima wahyu karena memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh. Namun Rosul dan Nabi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari filosof, karena Rosul dan Nabi telah dipilih dan bukan atas usaha sendiri dalam berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, namun atas pemberian dari Tuhan. Sedangkan filosof mengadakan komunikasi atas usahanya sendiri, melalui latihan dan kontemplasi, kemudian komunikasi dapat dilakukan melalui akal, yaitu akal mustafad. Rosul dan Nabi tidak perlu mencapai hingga Akal Mustafad untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, mereka dapat melakukannya yakni dengan daya pengetahuan yang disebut dengan imaginasi, yang dapat melepaskan mereka dari pengaruh-pengaruh panca indera dan dari tuntutan-tuntutan badan, sehingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan Akal Kesepuluh.
Falsafat kenabian ini di jelaskan Al-Farabi untuk menentang aliran yang tak percaya kepada Nabi atau Rasul seperti yang dibawah Al-Razi dan lainnya di zaman itu.
Lebih lajutnya, pada masa-masa pertama Islam kaum Muslimin mempercayai sepenuhnya apa yang datang dari Tuhan, tanpa membahasnya atau mencari-cari alasannya. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena hal ini mulai dikeruhkan dengan oleh berbagai hal keraguan, setelah golongan-golongan di luar Islam perlahan-lahan dapat memasuki fikiran ummat muslim. Golongan-golongan itu adalah golongan Mazdak, dan Manu dari Iran, golongan Sumniyah dari agama Mrahma, serta orang-orang Yahudi dan Masehi. Sejak saat itu, setiap dasar-dasar agama Islam dibahas dan dikritik.
Sehubungan dengan ini, kritikan Ibn ar-Rawandi (Wafat akhir 111 H) dan Abu Bakar ar-Razi (Wafat 250 H). terhadap kenabian perlu dicatat,  Ibnu ar-Rawandi dan dalam bukunya yang berjudul Az Zamarrudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad SAW pada khususnya, ia banyak memberikan kritikan terhadap ajaran-ajaran Islam dan Ibadahnya, dan menolak mukjizat-mukjizat keseluruhannya. 
Khusus mengenai kenabian, ia mengatakan bahwa rasul-rasul itu sebenarnya tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, agar mereka dapat membedakan antar yang baik dan yang buruk. Pada intinya Ibnu ar-Rawandi dalam hal ini berpendapat bahwa keberadaan akal itu sudah cukup.
Ar-Razi seorang dokter dan tokoh filsafat, juga tidak kurang bahaya, karena ia menulis dua buku, yaitu Makhariq al-Anbiya aw HiIya al-Munatanabbi-in (Mainan nabi-nabi atau tipu daya terhadap orang yang mengaku menjadi Nabi) dan Naqdl al-Adyan aw fi an Nubuwwah (Menentang agama-agama atau menentang kenabian). Menurut Massignon, buku pertama tersebar luas, sampai mencapai Dunia Barat sehingga buku tersebut menjadi sumber kritikan-kritikan yang di lancarkan oleh para rasionalis eropa terhadap agama dan kenabian. Pada masa Frederick II Buku kedua, beberapa bagiannya sampai kepada kita melalui tulisan-tulisan Abu Hatim ar-Razi (Wafat tahun 330 H) dalam bukunya A’lam an-Nubuwwah yang dikarang untuk menolak pandangan ar-Razi mengenai teori kenabian. Serangan Abu bakar ar-Razi pada pada garis besarnya tidak banyak berbeda dengan serangan ar-Rawandi, seolah-olah kedua orang tersebut bersumber satu, atau seolah-olah ajaran Hindu dan Manu tersembunyi di belakangnya, dan tidak jauh kemungkinannya kalau keduanya mengetahui kritik orang-orang Yunani terhadap berbagai agama. Bagaimanapun juga, baik karena terpengaruh oleh fikirannya sendiri, namun yang jelas ialah bahwa ia mengakui dirinya sebagai orang-orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua itu, dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak dibedakannya seseorang dengan lainnya. Dalam suasana penuh perdebatan tentang kenabian
muncullah al Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia
hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil
penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi
filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang
membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain hampir tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam
filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat
hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak Pada waktu membicarakan negeri
utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al
aql al fa’āl
, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.
Hubungan tersebut bisa diamati dan bisa ditempuh dengan dua jalan, jalan ini
yaitu merupakan jalan fikiran dan jalan imajinasi penghayalan, atau dengan perkataan
lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Perlu diketahui sudah barang tentu tidak
semua orang dapat mengadakan hubungan berfikir dan imajinasi penghayalan. melainkan
hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam
gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran
yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan
orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama
yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan
dengan berfikir apa yang difikirkan  bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan
ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita
merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
Ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur ataupun jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara
kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak
mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah merupakan
salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya
juga sama Meskipun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah
satunya, maka dapat pula kita menerangkan yang lain. Hubungan antara kedua cara
tersebut dijelaskan oleh al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl Madinah al-Fadhilah.
Kalau imajinasi dapat mengadakan gambaran-gambaran tersebut dengan
bentuk alam rohani. Misalnya orang tidur melihat langit dan orang-orang yag
menempatinya serta meraskan senang terhadap kenikmatan-kenikmatan yang ada di
dalamnya. Di samping itu imajinasi kadang-kadang naik kealam langit dan
berhubungan dengan akal apa yang dilakukan dan melihat untuk menerima hal-hal yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa. Hubungan tersebut bisa terjadi di waktu siang atau
pun di waktu malam, dan dengan adanya hubungan ini maka kita dapat menafsirkan
kenabian dan kebesaran yang dimiliki nabi karena hubungan tersebut merupakan sumber impian yang benar dan mendapatkan pengetahuan maupun wahyu yang benar.
Orang yang melihat hal sedemikian itu mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kebesaran yang agung dan mengagumkan, dan ia melihat perkara-perkara ajaib yang tidak mungkin sama sekali terdapat pada alam maujud. Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada kalangannya pada waktu jaga untuk menerima dari al aql al fa’āl dan dari peristiwa-peristiwa sekarang atau peristiwa-peristiwa mendatang, atau obyek-obyek inderawi yang merupakan salinannya. Ia dapat pula menerima salinan-salinan dan obyek-obyek fikiran dan wujud-wujud lain yang mulia dan, melihatnya pula.
Dengan adanya penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut mempunyai ramalan (Nubuwwah) terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang basa dicapai oleh kekuatan imajianasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut. Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut al-Farabi, ialah bahwa ia mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan dia dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia jaga. Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al aql al fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, kecuali pada waktu tidur, dan kadang-kadang mereka sukar untuk dapat mengutarakan apa yang diketahuinya. 
Demikianlah teori kenabian-kenabian dari al-Farabi yang dipertalikan dengan soal-soal kemasyarakatan, dan kejiwaan, sepertiyang dikemukakannya dalam bukunya ‘Ara-u Ahl al-Madinahal. Fadhilah Menurut al-Farabi, nabi dan filosof adalah orang-orang yang pantas mengepalai negeri utamanya, dimana kedua-duanya dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl
yang menjadi sumber syariat dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan tersebut.
Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah hubungan nabi melalui imajinasi
maka hubungan filosof melalui pembahasan dan pemikiran.

F. Syair Al Farabi
Sejumlah ahli sejarah meriwayatkan tentang Al Farabi, bahwa ia pernah menulis sejumlah bait syair. Hanya saja, sebagian ahli sejarah yang lain meragukan penisbatan syair tersebut kepada Al Farabi. Diantara syair itu ada yang berbentuk doa.[15]

Syair (1)
Wahai sebab segala sesuatu, kumpulkanlah !
Dan yang karena-Nya turun karunia yang berlimpah ruh
Tuhan langit yang kokoh dan pusat
Kekayaan yang maha halus di tengah-tengahnya
Aku memohon kepada-Mu seraya meminta pahala, meski bergelimang dosa
Maka, ampunilah kesalahan pendosa dan manusia lemah ini.




Syair (2)
Dengan dua kaca umurku dipotong
Kepada keduanya juga aku menyandarkan urusanku
Satu kaca penuh dengan tinta
Dan kaca lainya penuh dengan minuman keras
Maka dengan kaca yang satu aku merangkai kebijaksanaanku
Dan dengan kaca lain aku menghilangkan kegundahan hatiku.

















G. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan masalah mengenai Dinasti Abbasiyah maka dapatlah  mengambil isi makalah yaitu :
1. Abu Nashr al-Farabi, lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) tahun 870 M. Al Farabi wafat usia 80 tahun di Aleppo pada tahun 950 M.
2. Proses emanasi tersebut yakni, Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua dan. Emanasi menurut Al Farabi seperti munculnya cahaya dengan kata lain memancarkan atau menghasilkan wujud dengan pemikirannya.
3. Menurut Al Farabi, konsep kenabian timbul melalui komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Rosul dan Nabi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari filosof, karena Rosul dan Nabi telah dipilih pemberian dari Tuhan. Sedangkan filosof mengadakan komunikasi atas usahanya sendiri, melalui latihan dan kontemplasi, kemudian komunikasi dapat dilakukan melalui akal, yaitu akal dengan pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki.

H. Saran
Demikian tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan, harapan kami dengan adanya tulisan ini lebih mengenali dan memahami. Khususnya pada mata kuliah sejarah pemikiran Islam bisa memberi wawasan yang lebih luas dan bijak dalam pengetahuan.
Kami sadar dalam makalah ini masih banyak kesalahan dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.



Daftar Pustaka

Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodoligi Sampai Teofilosofi, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008.
Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam, konsep, filsuf, dan ajaranya, Bandung: Cv Pustaka Setia, 2009.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Maftuhkhin, Filsafat Islam , Yogyakarta: Teras, 2012.
Khalid Haddad,  Alaamul Fikril ‘Arabi, Darul Kitab al-‘Arabi, Syiriah, Penerjemah, Andri Wijaya, 12 Tokoh Pengubah Dunia, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2013.





[1]  Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2013), h.88.
[2] Khalid Haddad,  Alaamul Fikril ‘Arabi, Darul Kitab al-‘Arabi, Syiriah, Penerjemah, Andri Wijaya, 12 Tokoh Pengubah Dunia, (Jakarta: Gema Insani, 2009), h. 232-233.
[3] Ibid, Khalid Haddad, h. 233.
[4] Maftuhkhin, Filsafat Islam , (Yogyakarta: Teras, 2012) h. 96.
[5] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodoligi Sampai Teofilosofi, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), h. 448-449.
[6] Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam, konsep, filsuf, dan ajaranya, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2009) h. 83-84.
[7] Khudori Sholeh, Filsafat Islam dari Kelasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2013), h. 113.
[8] Ibid, Maftuhin, h. 97.
[9] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 27.
[10] Ibid, Khudori Sholeh, hlm. 120.
[11] Ibid, Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 460-461.
[12] Ibid, Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, hlm,. 461.
[13] Ibid, Maftuhin, h. 99.
[14] Ibid, Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, hlm,. 462.
[15] Khalid Haddad,  Alaamul Fikril ‘Arabi, Darul Kitab al-‘Arabi, Syiriah, Penerjemah, Andri Wijaya, 12 Tokoh Pengubah Dunia, (Jakarta: Gema Insani, 2009), h.249-250.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar