BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an yang
diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umat Islam. Sebagai sumber hukum
kedua, kita sebagai umat Islam wajib mempelajarinya. Terkhusus kepada para
pelajar Muslim, kita harus mengetahui pula pengertian hadits dan istilah ilmu
hadits lainnya berupa sunnah, khabar, dan atsar, persamaan dan perbedaannya,
serta bentuk-bentuk hadits, agar kita dapat mengetahui isi dari hadits dengan
baik, sehingga untuk menularkannya kepada masyarakat pun bisa dilakukan dengan
benar.
Di sini penulis akan memaparkan sedikit hasil dari beberapa buku
yang telah penulis baca, berupa pengertian hadits, sunnah, khabar, dan atsar. Juga perbedaannya.
B) Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian dari Hadist, Sunnah, Khabar, Atsar?
2. Bagaimana Contoh Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar?
3. Bagaimana Perbedaan Antara Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar?
4. Sebutkan Subtansi Hadits?
5. Bagaimana Kedudukan Hadits
Sebagai Sumber Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Kata al-hadits (اَلْحَدِيْث) adalah kata mufrad, yang jama’nya adalah
al-ahadits (اَلأحاَدِيْثُ) dan dasarnya adalah
tahdits (تَحْدِيْثٌ) artinya pembicaraan. Dari
sisi bahasa, kata hadits memiliki beberapa arti, diantarnya ialah:
a) al-jadid (اَلْجَدِيْدُ), artinya yang benar, lawan kata al-qadim (اَلْقَدِيْمُ)
artinya yang lama, dalam arti ini menunjukan adanya waktu dekat dan
singkat.
b) al-thariq (اَلطّرِيْقَةُ) artinya jalan, yaitu اَلطّرِيْقَةُ اَلْمَسْلُوْكَةُ jalan yang
ditempuh.
c) al-khabar (اَلْخَبَرُ) artinya berita.
d) al-sunnah (اَلسُّنًةُ) artinya
perjalanan.
Adapun menurut istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi
sesuai denga latar belakang disiplin keilmuan masing-masing, sebagaimana
perbedaan antara ahi ushul dan ahli hadits dalam memberikan definisi al-hadits.[1]
Antaralain:
a) Ahli Hadits:
اَقْوَالُ النًبِيّ صَلى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَاَفْعَالُهُ وَاَحْوَالُهُ
Segala
perkataan Nabi SAW, perbuatan dan hal ihwalnya
مَا اُضِيْفَ اِلَى انَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً اوْ
فِعلاً اَوْ تَقْرِيْرًا اَوْ صَفّةً
Sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir) maupun
sifat beliau.
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits meliputi biografi Nabi
SAW, sifat-sifat yang melekat padanya, baik berupa fisik maupun hal-hal yang
terkait dengan masalah psikis dan akhlak keseharian Nabi, baik sebelum maupun
sesudah terutus sebagai Nabi.
b) Ahli Ushul:
اقوال النَّبِيَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلَّمَ وَافْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَ
اَتُهُ اَلَّتِى تُثَبَّتُ الاَحَكَامَ وَتُقَرَّرُهاَ
Semu perkataan
Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syara' dan
ketetapanya.
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits adalah segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan-ketetapan
Allah yang disyari’atkan kepada manusia.
Lain halnya dengan ahli fiqih, hadits dipandang sebagai suatu perbuatan
yang harus dilakukan, tetapi tingkatanya tidak sampai wajib, atau fardlu, sebab
hadits masuk kedalam suatu pekerjaan yang setatus hukumnya lebih utama
dikerjakan, artinya suatu amalan apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan
apabila ditinggalkan tidak dituntut apa-apa, akan tetapi apabila ketentuan
tersebut dilanggar mendapat dosa. Dengan demikian, maka hadits memiliki
kesamaan arti dengan kata sunnah, khabar, dan atsar.[2]
Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memeberikan pengertian
tentang hadits. Dikalangan umat hadits sendiri ada beberapa pendapat dalam
memberikan pengertian masing-masing. Dalam kajian hadits ulama sering
mengistilahkan hadits dengan penisbatan sahabat yang meriwayatkan atau tema hadits
atau tema hadits itu sendiri atau tempat peristiwa dan lainya. Misalnya
penisbatan kepada perawi hadits Abu Hurairah itu lebih kuat dari pada hadits
Wail ibn Hujr, maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Wail ibn Hujr.
Misalnya penisbatan kepada peristiwa hadits al-gharaniq, maksudnya hadits yang
menceritakan kisah al-gharaniq. Misalnya penisbatan kepada tempat hadits Ghadir
Khum maksudnya hadits yang menceritakan kisah yang terjadi di Ghadir Khum.[3]
d) Contoh dari
hadits Nabi Muhammad SAW:
إنما الأعمال بالنيات
Artinya : “ Segala
amal perbuatan dengan niat”. (H.R. Al-Bukhori dan Muslim).
B. Pengertian Sunnah
Kata (اَلسُنَّةُ) adalah kata tunggal.
Jama’nya adalah al-sunan (اَلسُّنَنْ) artinya jalan yang dilalui, terpuji atau tidak, atau berati perjalanan.
Sebagaimana firman Allah dan sabda Rasul-Nya:
a) al Quran:
سُنَّةَ مَنْ قَدْ
أَرْسَلْنَا وَلاَتَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيْلاً
(kami
menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami
yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu temukan perbuatan bagi
ketetapan kami tersebut. (Q. Al-Isra:77)
b) al-Hadits, yaitu Hadits riwayat Bukhari dan Muslim
مَنْ سَنَّ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
وَمَنْ وَمَنْ سَنَّ سُنَّتَةً سَيّئةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُمَنْ عَمِلَ
بِهَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ, مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang baik, maka baginya
mendapatkan pahala atas perbuatan itu dan pahala orang-orang yang mengerjakanya
sampai pada hari kiamat. Siapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka baginya
mendapatkan dosa atas perbuatanya dan ikut juga menanggung dosa orang-orang
yang mengikutinya sampai pada hari kiamat.
Para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sunnah menurut istilah.
Hal ini lebih disebabkan perbedaan latar belakang, persepsi dan sudut pandang
mereka terhadap diri Rasulullah SAW.[4]
yaitu :
a) ahli hadits
مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِي
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَمَ مِن قَولٍ اَو فِعْلٍ اَو تَقْرِيْرٍ اَوصِفَةٍ
خَلْقِيَّةٍ اَو خُلُقِيَّةٍ اَو سِيْرَةٍ, سَوَاءٌ كَانَ قَبْلَ الْبِعْثَةِ اَو
بَعْدَهَا
Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, perangi, budi pekerti, maupun perjalanan hidup, baik
sebelum diangkat Rasul maupun sesudahnya.
Dari definisi tersebut, dapat diambil kepemahaman bahwa para ahli hadits
membawa masuk semua bentuk kebiasaan Nabi SAW, baik yang melahirkan hukum
syara’ maupun tidak kedalam pengertian sunnah dan memiliki makna sama dengan
pengertian hadits.
Karna itu dari cakupan tradisi Nabi SAW yang dilakukan sebelum maupun
sesudah beliau terutus sebagai utusan, sehingga kandungan kata sunnah dapat
dijadikan sebagai dalil hukum syara’ meliputi semua bentuk perkataan,
perbuatan, penetapan, dan kebiasaan Nabi SAW. Akibatnya kandungan arti sunnah
lebih luas dari pada hadits, sebab sunnah melihatnya pada keberadaan beliau
SAW sebagai uswatun hasanah, sehingga
yang melekat pada diri beliau secara utuh harus diterima tanpa membedakan
apakah yang telah diberitakan itu berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak.[5]
b) Ahli Ushul:
كُالُّ مَاصَدَرَ عَنِ
النّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ غَيْرَ القُرْآن الْكَرِيْمِ مِن قَوْلٍ
اَو فِعْلٍ اَو تَقْرِيْرٍ مِمَّا يَصْلُحُ اَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلًا لِحُكْمِ
شَرْعِيّ
Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain al-quran al-hikmah,
al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang memng layak
untuk dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’
Dari definisi tersebut, sunnah diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, tetapi hanya yang berhubungan dengan hukum syara’ baik, yang
berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapanya. Sedang sifat-sifat yang melekat
pada beliau, yaitu perilaku perbuatan dan perjalanan hidup beliau serta semua
yang bersumber dari beliau, yang tidak berhubungan dengan hukum syara’ serta
terjadinya sebelum beliau diangkat sebagai Rosul tidak masuk dalam kategori
pengertian sunnah.
Dengan demikian, maka yang termasuk ke dalam kategori pengertian sunnah
hanya terbatas pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW saja. Sedangkan
yang bersumber dari sahabat dan tabi’in tidak termasuk sunnah. Hal ini
berdasarkan pada kenyataan bahwa Nabi SAW adalah pembawa dan pengatur
udang-undang yang memiliki misi kewajiban untak menjelaskan undang-undang
kepada manusia, sehingga yang tidak mengandung misi tidak termasuk sunnah dan
tidak bisa juga dijadikan sebagai sumber hukum yang mengikat.[6]
c) Ahli Fiqih
مَاثَبَتَ عَنِ النّبِيّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ مِنْ غَيْرِ
افْتـِرَاضِ وَلَا وُجُوبٍ, وَتُقَابِلَ الْوَاجِبُ وَخَيْرُهُ مِن الَاحْكَام
الَاحْكَام اَلْخَمْسَةِ
Semua ketetapan yang berasal dari Nabi SAW selain yang difardlukan,
diwajibkan dan termasuk kelompok hukum yang lima.
Definisi ini menunjukanbahwa objek pembahasan para ahli fiqih Islam hanya
terbatas pada pribadi dan perilau Nabi SAW sebagai landasan hukum syara’ untuk
diterapkan pada perbuatan manusia pada umumnya baik yang wajib, haram, makruh,
mubah maupun sunat. Karenanya jika dikatakan perkara ini sunnah. Karenanya jika
diktakan perkara ini sunnah, maka yang dikehendaki adalah pekerjaan itu
memiliki nilai hukum yang dibebankan oleh Allah kepada setiap orang yang sudah
dewasa, berakal sehat dengan tuntutan.
d) contoh sunnah
Dan
dalam tataran hukum Islam sunnah menempati posisi kedua setelah Al- Qur’an. Hal
ini diterapkan dalam sabda Nabi
Muhammad SAW sebagai berikut:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا
ما تماسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه
Artinya :
“Sesungguhnya telah
aku tinggalkan untukmu dua perkara; kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang
padakeduanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulnya” (HR.Malik).
وعليكم بسنتي و سنة الخلفاء
الراشدين المهديين بعدي
Artinya :
“Berpegang tegulah
kamu dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafah Ar-Rasyiddin sesudahku” (HR.Abu
Daud dan Turmudzi dan Irbadh bin Sariyah).
Guna
menghindari kerancuan pengertian hadits dan sunnah perlu ditegaskan
perbedaannya. Haduts ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi SAW,
walaupun selama hayat beliau hanya sekali terjadi, atau hanya diriwayatkan oleh
seseorang. Adapun sunnah adalah amaliah SAW yang mutawatir dan sampai kepada
kita dengan cara mutawatir pula. Nabi melaksanakannya bersama para sahabat,
lalu para sahabat melaksanakannya. Kemudian diteruskan oleh para tabi’in,
waklaupun lafadz ppenyampaiannya tidak mutawatir namun cara penyampaiaannya
mutawatir.
Mungkin
terjadi perbedaan lafadz dalam meriwayatkan suatu kejadia, sehingga dalam segi
sanad dia tidak mutawatir, akan tetapi dalam segi amaliahnya dia mutawatir.
Proses yang mutawatir itulah yang disebut sunnah.
Oleh karena itu
dalam kehidupan kita sehari-hari sering para ulama menjelaskan bahwa amalan ini
telah sesuai dengsan sunnah Rasul.
C. Pengertian Khabar
al-khabar (اَلْخَبَرُ) dalam bahasa artinya
warta atau berita, maksudnya sesuatu yang diberitakandan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain atau sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para
sahabat, dilihat dari sudut pendekatan bahasa ini kata khabar sama artinya
dengan hadits.[7] Jadi
setiap hadits termasuk khabar, tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
Menurut pengertian istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan
definisi sesuai dengan latar belakang dan disiplin keilmuan masing-masing,
diantaranya adalah:
a) sebagian ulama mengatakan bahwa khabar ialah sesuatu yang datangnya
selain dari nabi SAW, sedangkan yang dari nabi SAW disebut hadits.
b) ulama lain mengatakan bahwa hadits lebih luas dari pada khabar, sebab
setiap hadits dikatakan khabar dan tidak dikatakan bahwa setiap khabar adalah
hadits.
c) ahli hadits memberikan definisi sama antara hadits dengan khabar, yaitu
segala sesuatu yang datangnya dari nabi SAW, sahabat, dan tabi’in, baik
perkataan, perbuatan maupun ketetapanya.[8]
Ulama
lain berpendapat bahwa khabar hanya dimaksudkan sebagai berita yang diterima
dari selain Nabi Muhammad SAW. Orang yang meriwayatkan sejarahdisebut khabary
atau disebut muhaddisy. Disamping itu pula yang berpendapat bahwa khabary itu
sama dengan hadits, keduanya dari Nabi SAW. Sedangkan atsar dari sahabat.
Karenanya, maka timbul hadits marfu’, mauquf atau maqtu’.
ما اضيف الى النبي صلى الله عليه و سلم او غيره
Artinya :
“Segala sesuatu
yang disandarkan atau berasal dari Nabi atau yang selain dari Nabi.
Contoh Ali bin Abi Thalib ra. Berkata:
من السنة وضع الكف تحت السرة في الصلغاة
Artinya :
“Sunnah ialah
meletakkan tangan di bawah pusar.
D. Pengertian Atsar
Al-atsar dalam bahasa artinya adalah sisa (بَقِيّةُ الشَّئ),
sedangkan menurut pengertian istilah, para ahli berbeda-beda sesuai dengan
latar belakang disiplin ilmu mereka masing-masing, diantaranya adalah:
a) Jumhur berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in.
b) menurut ulama lain, seperti ulama Kharasan atsar untuk hadits mauquf dan
khabar untuk hadits marfu.
c) ahli hadits lain mengatakan tidak sama, yaitu khabar, berasal dari nabi,
sedangkan atsar sesuatu yang di sandarkan hanya kepada sahabat dan tabi’in,
baik perbuatan maupun perkataan.
Empat pengertian tentang hadits, sunnah, khabar, dan atsar sebagaimana
diuraikan di atas, menurut Jumhur ulama hadits juga dapat dipergunakan untuk
maksud yng sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau
atsar. Begitu juga sunnah bisa disebut dengan hadits, khabar, atsar. Maka
hadits mutawatir disebut juga sunnah mutawatir, begitu juga hadits shahih dapat
juga disebut dengan sunnah shahih, khabar shahih dan atsar shahih.[9]
Dari beberapa uraian tentang hadits diatas dapatlah ditarik bahwa, baik
Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar sebagaimana yang telah diuraikan, maka pada
dasarnya kesemuanya memiliki persamaan maksud, yaitu untuk menunjukkan segala
sesuatu yang datang dari Nabi SAW,baik berupa perkataan, perbuatan maupun
taqrirnya.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa atsar lebih umum dari pada khabar, yaitu atsar berlaku
bagi segala sesuatu dari Nabi maupun yang selsain dari Nabi SAW, sedangkan
khabar khusus bagi segala sesuatu dari Nabi SAW saja.
Para fuqoha’
memakai istilah “atsar” untuk perkataan-perkataan ulama’ salaf, sahabat ,
tabi’in, dan lain-lain.
ماأضيف الى الصحابة و التابعين من أقوال و أفعال
Artinya :
Perkataan dan
perbuatan yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Contohnya perkataan
tabi’in , Ubaidillah Ibn Abdillah IBN Utbah ibn Mas’ud:
السنة ان
يكبر الامام الفطر و يوم الاضحى حين يجلس على المنبر قبل الخطبة تسع تكبيرات (رواه
البيهقى)
Artinya:
Menurut sunnah
hendaklah imam bertakbir pada hari raya fitri dan adha sebannyak sembilan kali
ketilka duduk di atas mimbar sebelum berkhutbah (HR. Baihaqi)
E. Perbedaan
Hadits dengan Sunnah, Khabar dan Atsar
Dari keempat
tema tersebut dapat ditarik bahwa tema tersebut sangat berguna sebagai ilmu
tambahan bagi masyarakat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
menentukan kulitas dan kuwantitas Hadits, sunnah, Khabar dan Atsar.
Para ulama
juga membedakan antara hadits, sunnah, khabar dan atsar sebagai berikut:
a) Hadits dan sunnah:
Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang bersumber pada Nabi
SAW, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya,
baik sebelum di angkat menjadi rasulmaupun sesudahnya.
b) Hadits dan khabar:
Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar
sebagai suatu yang berasal atau disandarkan kepada selain nabi SAW., hadits
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.
c) Hadits dan atsar:
Jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama
artinya dengan khabar dan hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar
sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan tabiin.
F. Subtansi
Hadits
Dari penjelasan diatas dapat diambil pengertian bahwa hadits, sunnah,
khabar, dan atsar memiliki maksud yang sama, yaitu segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.
Dari kesamaan ini ditemukan adanya beberapa kesamaan diantara pengertian-pengertian
tersebut, diantaranya dalam bentuk subtansinya, yaitu perkataan (hadits qauli),
perbuatan (hadits fi’li), ketetapan (hadits taqriri), dan karakter
kepribadianya (hadits hammi dan ahwali).
a) hadits qauli
hadits qauli ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, berupa
perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan
keadaan yang berkaitan dengan keyakinan, syari’ah, akhlaq maupun yang lainya.
Dengan kata lain suatu perkataan yang penuh beliau ucapkan dalam berbagai
bidang, misalnya bidang hukum (syari’ah), akhlaq, pendidikan dan sebagainya.
Contoh: perkataan Nabi SAW yang mengandung akhlaq
ثَلَاثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الاِيْمَانَ : الاِنْصَافُ مِنْ
نَفْسِهِ وَبَذْلُ السَّلَامِ لِلْعَالَمِ وَالاِنْفَاقُ مِن الاِفْتِقَارِ (رواه
البخارى)
(perhatikan) tiga hal: siapa saja yang sanggup
menghimpunya, niscaya ia sudah dapat menghimpun iman secara sempurna, yaitu:
pertama, jujur terhadap diri sendiri. Kedua, mengucapkan salam perdamaian
kepada seluruh dunia. Ketiga, mendermakan apa-apa yang menjadi kebutuhan umum.
Hadits riwayat Bukhari
Hadits itu mengandung anjuran terhadap seseorang untuk berakhlak mulia,
berkesadaran tinggi, cinta perdamaian dan dermawan.
b) hadits Fi’li
hadits fi’li adalah segala perbuatan yang sampai kepada kita yang
disandarkan kepada Nabi SAW, seperti tata cara berwudlu, pelaksanaan shalat,
dan pelaksanaan kewajiban haji dan lainya. Dengan kata lain semua perbuatan
Nabi SAW yang menjadi penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’ah
yang belum jelas cara pelaksanaanya.
Contoh: tata cara pelaksanaan kewajiban shalat
صَلُّوْا كَمَا رَآَيْتُمُوْنِى اُصَلّى. رواه البخارى
Shalatlah kamu sebagaimana kamu sekalian melihat aku melakukan shalat.
Hadits riwayat Bukhari.
c) hadits taqriri
Hadits taqriri menurut bahasa ialah penetapan atau persetujuan, sedangkan
menurut istilah berati perbuatan sahabat yang kemudian diakui dan dibenarkan
atau tidak dikoreksi oleh Nabi SAW. Maksudnya ialah segala ketetapan Nabi SAW
terhadap apa-apa yang datang dari sahabat dan beliau memberikan perbuatan
mereka tersebut setelah syarat-syaratnya terpenuhi, baik mengenai pelakunya
maupun perbuatanya.[10]
Contoh:
1) status shalat orang yang bertayamum, dimana
ditengah sholat ada air, lalu hal ini dilaporkan kepada Nabi SAW, kemudian
dijawab dengan mengatakan:
قَالَ النّبِيّ لَلَذِى لَمْ يَعُدْ اَصَبْتَ اَلسُّنَّةَ وَقَالَ لِلآخَرِ
لَكَ اَخْرٌ مَرَّتَيْنِ. رواه ابو داوود والنسائ
Nabi berkata yang tidak mengulangi shalat
“sudah benar engkau”, kemudian menjawab kepada yang mau mengulang lagi
shalatnya: “kamu mendapatkan dua pahala”
2) pelaksanaan perintah dan larangan Nabi SAW
sesuai dengan penafsiran masing-masing sahabat, misalnya hadits sebagai
berikut:
لاَ يُصّلَينَّ اَحَدٌ العَصْرَ اِلاَّ لإِ فِى بَنِى قُرَيْظَةَ. رواه
البخارى
Janganlah ada
seorangpun yang melaksanakan shalat ‘ashar kecuali di Bani Quraidlah. Hadits
riwayat Bukhari.
Hadits ini
ditanggapi para sahabat berbeda-beda, diantaranya:
-
Sebagian sahabat
berpendapat bahwa larangan itu harus
berdasarkan pada hakekat dari arti larangan itu sendiri, sehingga berakibat
pada pelaksanaan shalat ‘ashar tidak tepat pada waktunya, bahkan pelaksanaanya
mundur sampai waktu shalat maghrib.
-
Sebagian lagi berpendapat
bahwa larangan tersebut mengandung pengertian untuk segera sampai ke tempat
Bani Quraidlah dan dalam peperangan itu tidak boleh santai, sehingga shalat
‘ashar harus dilaksanakan tepat pada waktunya.
d) hadits hammi dan hadits ahwaliy
Hadits hammi ialah segala hadits Nabi SAW berupa keinginan atau hasrat yang
belum terealisasikan, seperti keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘asyura,
sebagaimana dalam hadits:
“ketika Nabi
SAW berpuasa pada hari ‘ayura dan memerintahkanya para sahabat untuk berpuasa,
mereka berkata: ya Nabi, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh oang-orang
Yahudi dan Nasrani. Lalu Nabi SAW bersabda: Tahun yang akan datang insyallah
aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”. Hadits riwayat Muslim
Hadits ahwaliy ialah hadits Nabi SAW yang berupa seluk beluk Nabi yang
menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadianya, contoh hadits tentang
bentuk fisik Nabi SAW:
“Anas berkata bahwa aku tidak pernah memegang sutra murni dan sutra
berwarna yang halus, sehalus telapak tangan Rasul SAW dan juga belum pernah
mencium wewangian seharum Rasul SAW. Hadits riwayat Bukhari.
G. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Semua
umat islam telah sepakat bulat bahwa hadits Rasul adalah sumber hukum islam
setelah Al-Quran, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana
diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al-Quran.
Al-Quran
dan Hadits adalah merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap,
dan orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan
lengkap tanpa kembali kepada dua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid pun
tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengn mengambil salah satu dari
keduanya.
Banyak
kita jumpai ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-hadits yang memberikan pengertian
bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-Quran yang wajib diikuti,
dan diamalkan baik dalam bentuk perintah atau larangan. Dan uraian di bawah ini
merupakan penjelasan secara tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam
dengan mengambil beberapa dalil, baik aqli maupun naqli.
A. Dalil Al-Quran
Banyak
kita jumpai ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai dan
menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan
pedoman hidup sehari-hari. Diantara ayat-ayat dimaksud adalah:
Firman allah:
ما كان
الله ليذر المؤمنين على ما انتم عليه حتى يميز الخبيث من الطيب و ما كان الله
ليطلعكم على الغيب و لكن الله يجتبي من رسله من يشاء فامنوا بالله ورسله و إن
تؤمنوا وتتقوا فلكم أجر عظيم
Artinya : Allah sekali-kali tidak akan
membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga
Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah tidak
sekali-kali memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah
memilih siapa yang dikehendaku-Nya diantara Rasul-rasul-Nya. Karena itu
berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya ; dan jika kamu beriman dan bertaqwa maka
bagimu pahala yang besar (QS. Ali Imran (3): 179).
Dalam ayat lain
Allah SAW berfirman :
يا أيها
الذين ءامنوا ءامنوا بالله ورسله و الكتاب الذي نزل على رسوله و الكتاب الذي أنزل
من قبل و من يثكفر بالله و ملائكته و كتبه و رسوله و اليوم الأخر فقد ضل ضلالا
بعيدا
Artinya
:Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir pada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’ (4): 136)
Dalam
Qs. Ali Imran di atas Allah membedakan antara orang yang beriman dengan
orang-orang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang beriman dan akan
memperkuat keimanan mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut agar tetap
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Seadang pada QS. An-Nisa’, Allah menyeru
kepada orang mukmin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad
SAW), Al-Quran dan kitab yang diturunkan sebelimnya. Kemudian pada akhir ayat
Allah mengancam orang-orang yang mengingkari dan menentang seruan-Nya.
Disamping
itu juga Allah memerintahkan kepada orang Islam agar percaya kepada Rasul SAW,
juga menyeru agar menaati dan melaksanakan segala bentuk perundang-undangan dan
peraturan yang dibawanya baik berupa perintah ataupun larangan. Tuntutan patuh
dan taat kepada kepada Rasul SAW itu sama halnya tuntutan patuh kepada Allah
SWT. Banyak ayat Al-Quran yang berkenaan dengan masalah ini.
Firman Allah SWT:
قل أطيعوا الله و الرسول
فإن تولوا فان الله لا يحب الكافرين
Artinya :
Katakanlah
Taatilah kalian Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir. (QS. Ali Imran (3): 32).
Dan firman-Nya yang
lain:
يا أيها
الذين ءامنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولى الأمر منكم فإن تنازعتم في شئ
فردوه إلى الله و الرسول إن كنتم تؤمنون بالله و اليوم الأخر ذلك خير و أحسن
تأويلا
Artinya
: Haiorang-orang yang beriman ! Taatilah Allah, Rasul dan Ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu beriman kepada sesuatu, maka kembalilah kepada Allah
dan Rasul. Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian ini lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ (4): 59)
Kemudian dalam ayat
lain Allah berfirman:
و ما
ءاتاكم الرسول فخذوه و مانهاكم عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب
Artinya:
Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, dan apa-apa yang dilarangnya , mak
tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr (59): 7).
و أطيعوا الله و أطيعوا الرسول واحذرو
Artinya :
Dan
taatilah kamu kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dan berhati-hatilah. (QS.
Al-Maidah (5): 92).
قل أطيعوا
الله و أطيعوا الرسول فإن تولوا فإنما عليه ما حمل و عليكم ما حملتم و إن نطيعهوا
نهتدوا و ما على الرسول إلا البلاغ المبين
Artinya:
Katakanlah:
Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebenkan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah apa semata-mata yang dibebankan kepadamu. Dan
jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk (QS. An-Nur (24): 54).
Kalau
kita gali terus sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran senada yang
menjelaskan hal ini. Dicantumkannya beberapa ayat di atas dimaksud hanya
sebagai contoh dan gambar dari beberapa ayat yang banyak dimuat dalam Al-Quran
Al-Karim.
Dari
ayat-ayat Al-Quran di atas tergambar bahwa setiap ada perintah taat kepada
Allah SWT dalam aL-Quran selalu diikuti dengan perintah taat kepada Rasul-Nya.
Demikin juga mengenai [eringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah, sering
disejajarkan atau dasamakan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul Muhammad
SAW.
Dari
gambaran ayat-ayat seperti inimenunjukkan betapa urgenya kedudukan penetapan
kewajiban taat terhadap semua yang disampaikan oleh Rasul Muhammad SAW. Dan
perlu diketahui bahwa cara-cara penyajian Allah seperti ini hanya diketahui
oleh orang-orang yang mengetahui bahasa Arabdan memahami ungkapan-ungkapan
serta pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya, yang akan memberi
masukan dalam memahami maksud ayat tersebut.
Dengan
demikina dapat diungkapkan bahwa kewajiban taat kepada Rasul Muhammd SAW dan
larangan mendurhakainya merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan
oleh umat Islam.
B. Dali Al-Hadits
Mari
kita pahami dalam satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan menjadikan hadits
sebagai pedoman hidup disamping Al-Quran sebagai pedoman utamanya, be;liau
bersada:
تركت فيكم أمرين لن تصلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه
Artinya:
“ Aku tinggalkan dua pustaka kepadamu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat
selagi kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya”. (HR. Malik).
Saat
Rasulullah ingin mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi penguasa di negri
Yaman, terlebih dahulu dia diajak diskusi oleh Rasulullah SAW.
قال كيف
تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم نجد في كتاب الله قال فبسنة
رسول الله صلى اللهم عليه و سلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله اللهم صلى عليه و
سلم و لا في كتاب الله قال أجتهدوا رأيي
فضرب رسول الله صلى اللهم عليه و سلم صددره و قال الحمد لله الذي وفق رسول الله
لما يرضي رسول الله
Artinya:
“(Rasulullah
bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum jika dihadapkan kepada
sesuatuyang memerlukan penetapan hukum? Mu’adz menjawab: Saya akan
menetapkannya dengan kkitab Allah. Lalu Rasul bertanya: seandainya kamu tidak
mendapatkannya dalam kitab Allah, Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi: seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam
kitab Allah dan sunnah Rasul, Muadz menjawab: saya akan berijtihad dengan
pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk-nepuk pudak Muadz seraya
mengatakan “segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang
Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki”. (HR. aBU Dawud dan Tirmidzi).
Dalam hadits lain
Rasulullah bersabda:
فعليكم
بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين تمسكوا بها و عضوا عليها....
Artinya:” Wajib
bagi kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyiddin
(Khalifah yang mendapat petunjuk, berpegang tegulah kamu sekalian dengannya.
(HR. Abu Dawuddan Ibnu Majjah).
Hadit-hadits
tersebut di atas kita anggap cukup untuk menunjukkan bahwa berpegang teguh
kepada hadits/menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah
wajib sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Quran.
C. Kesepakatan
Ulama’ (Ijma’)
Seluruh
ulama Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai dasar syariat Islam yang
wajib diikuti dan diamalkan, karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Penerimaan mereka terhadap hadits sama dengan penerimaan mereka terhadap
Al-Quran , karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum syariat
Islam.
Dan
kesepakatan orang-orang Islam dalammempercayai, menerima dan mengamalkan semua
ketentuan yang terkandung dalam hadits ternyata sejak Rasulullah masih hidup.
Sepeninggalan beliau, sejak masa khulafa’ur rasyiddin hingga masa –masa
khalifah bani ummayah dan bani Abasiyah hingga sekarang tidak ada yang
mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memehami dan
mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal , memelihara dan
menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Mari
kita menengok peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan
menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam pada masa sahabat, antara lain
dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini.
a. Pada masa Abu
Bakar ra. Dibaiat menjadi khalifah, Ia dengan tegas mengatakan “ Saya tidak
sedikitpun meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan / dilaksanakan oleh
Rasulullah, sesungguhnya saya takut menjadi orang jika meninggalkan
perintahnya.
b. Pada saat
khalifah Umar berada di depan Hajar Aswad dia berkata: “ Saya tahu bahwa engkau
adalah batu. Seandainya saya sendiri tidak melihat sendiri Rasulullah
menciummu, maka saya tidak akan menciummu”.
c. Pada suatu saat
pernah ditannya kepada Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) masalah ketentuan shalat
safar dalam Al-Quran. Ia menjawab: “ Allah Swtelah mengutus Nabi Muhammadkepada
kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka kami berbuat sebagaimana duduknya
Rasulullah SAW. Saya makan sebagaimana duduknya Rasulullah dan saya shalat
sebagaimana shalatnya Rasulullsah.
d. Diceritakan dari
Sa’id bin Musayyab bahwa Khalifah Usman bin Affanberkata: “ Saya duduk
sebagaimana mengikuti duduknya Rasulullah SAW saya makan sebagaimana makannya
Rasulullah SAW dan saya mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah
SAW.
Sebenarnya
masih banyak lagi contoh-contoh yang dilakukan oleh para sahabat menunjukkan
bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan dan diserukan, niscsya dilakukan oleh
umatnya, dan apa yng dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.
D. Sesuai dengan
Petunjuk Akal
Muhammad
SAW, sebagai nabi dan rasul telsah diakui dan dibenarkan oleh seluruh umat
Islam. Di dalam mengemban isinya itu, kadang-kadang beliau hannya sekedar
menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT.Baik isi maupun formulasinya dan
kadang kala inisiatif sendiri atas bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun tidak
jarang dia membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang
tidak ditunjuk oleh wahyu dan jiga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad
beliau ini tetap berlaku sampai ada dalil yang menghapuskannya.
Dan apabila kerasulan Muhammad SAW telah diimani
dan dibenarkan, maka konsekwensi logisnyasegala peraturan dan
perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber
hukum dan pedoman hidup. Disamping itu
secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai rasul mengharuskan kepada
umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dengan
uraian di atas bisa diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan
sumber ajaran Islam dan menduduki urutan kedua setelah Al-Quran. Sedang bila
dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzanny, kecuali hadits
mutawattir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak ada yang membenarkan hakekat sebuah kebenaran, karna semua kebenaran
hanya milik Allah SAW. Namun penulis hanya membatasi isi uraian makalah yang
diangakat, antara lain ialah:
1. Hadits
terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang bersumber pada Nabi SAW,
sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya, baik sebelum
di angkat menjadi rasulmaupun sesudahnya.
2. Khabar:
sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu yang berasal atau
disandarkan kepada selain nabi SAW., ada juga hadits sebagai
sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.
3. Atsar: jumhur
ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar dan hadits. Ada juga
ulama yang berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang
disandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan tabiin.
4. dari penjelasan hadits, sunnah, khabar dan atsar ada empat subtansi
hadits ialah hadits qauli, hadits fi’li, hadits taqriri, dan hadits hammi/awaliy.
B. Saran
Demikian tugas penyusunan makalah ini
kami persembahkan, harapan kami dengan adanya tulisan ini lebih mengenali dan memahami. Khususnya pada mata kuliah Studi Hadits kita bisa membedakan Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar.
Kami sadar dalam makalah ini masih
banyak kesalahan dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Untukitu, kritik dan
saran yang membangun sangat kami perlukan guna memperbaiki makalah kami
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Daftar Pustaka
Ridwan Nasir, Ulumul Hadis dan Muslhalah Hadits, Jombang: Darul Hikmah,
2008.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadits, Surabaya: IAIN
Sunan Ampel Press, 2011.
M.Agus
Solahudin&Agus Suyadi.Ulumul Hadits.Bandung:Pustaka Setia,2011.
Zainuddin dkk,
Study Hadits. Surabaya: UIN
Sunan Ampel Press,2013.
3Munzier Suparta. Ilmu Hadis. Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, 2001.
[3] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi
Hadits, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 4.